Excel Philosophy

Berpikir Bebas Melawan Arus

Perihal Keadilan dan Teror Jakarta

Lini masa hari ini dipenuhi dengan cerita tentang teror Jakarta kemarin. Sebagaimana orang-orang pada umumnya, saya tentu saja marah dengan teror ini. Tapi, saya tidak ingin bersikap sok moralis, atau melihat hal ini seperti pada kerangka moralitas dalam struktur Manichaeism: tentang kosmologi dualistik pertentangan antara kebaikan dan kejahatan, dimana keburukan dihukum dan kebaikan diberi hadiah.

Pada kenyataannya, dunia tidak sesederhana itu. Kita mungkin saja mengambil sikap melawan dan mengecam kejahatan seperti itu, namun kemudian, muncul sebuah dilema antara keadilan dan aturan hukum: kita ingin melindungi kemanusiaan, tapi disaat yang sama, kita setuju ketika para teroris itu dihukum mati. Pada kasus ini, keadilan didefinisikan sebagai bayaran yang harus ditanggung oleh mereka yang melanggar norma kemanusiaan, namun dengan cara mengorbankan kemanusiaan sebagai bentuk penegakan hukum.

Pada konteks ini, muncul celah yang besar antara keadilan dan aturan hukum. Aturan hukum melarang hal-hal yang melanggar norma kemanusiaan, tapi pada poin tertentu, ada pembenaran ketika norma kemanusiaan itu sendiri dilanggar atas nama keadilan.

Konsekuensi dari aksi teror kemarin, tentu saja menyebar pada kelompok-kelompok yang kerap kali menunjukkan sikap intoleransi, seperti FPI yang secara terang-terangan menunjukkan dirinya berada “di posisi yang mana”. Sikap sebagian dari kita kemudian kepada kelompok intoleran seperti itu sama halnya dengan ‘konsep keadilan’ tadi, tetapi pada konteks yang berbeda. 

Pada banyak hal, saya memang tidak setuju dengan pemikiran-pemikiran mereka. Tetapi, selama itu masih dalam tahap ide, sikap saya jelas: melawan dengan pemikiran; dengan pena dan kertas; ide melawan ide—selama yang mereka serukan bukan ujaran kebencian. Perihal tindakan mereka yang memuakkan, yang seolah-olah memiliki otoritas di negeri ini, saya pikir, itu terkait dengan aparatus negara; dus, demokrasi itu sendiri melindungi kebebasan berpikir, tidak peduli sekonyol apapun pemikiran itu.

Saat menulis ini, saya teringat dengan salah satu adegan di film The Dark Knight, ketika Joker melakukan eksperimen sosial dengan menanam bom di dua kapal berbeda yang dipenuhi oleh penumpang, dan setiap kapal diberikan detonator bom yang ada di kapal yang lain, lalu memberikan instruksi: jika tidak ada salah satu dari mereka yang menekan detonator tersebut, maka Joker akan meledakkan keduanya.

Eksperiman sosial ini memberikan makna yang jelas: moralitas manusia tidak absolut, dan dipengaruhi oleh keadaan tertentu. Manusia menciptakan suatu ‘aturan’, tetapi ketika itu terkait dengan kepentingan mereka—baik itu perihal hasrat atau yang lainnya—maka bisa saja seseorang memilih meninggalkan aturan itu. Hal ini, saya kira, yang mendasari sikap sebagian dari kita kepada kelompok-kelompok intoleran tersebut.

Menariknya, justru model pemikiran seperti inilah yang dipraktikkan oleh fundamentalis. Sartre pernah menuliskan bahwa “orang-orang yang menyerah pada kenikmatan kebencian melakukannya karena mereka tidak dapat mematuhi kelemahan mereka sendiri. Kelemahan dan ketidaksempurnaan adalah kondisi manusia. Tapi kelemahan dan ketidaksempurnaan memberi kita rasa tidak puas, bahkan mungkin muak dengan diri kita sendiri. Kebencian, bagaimanapun, dapat membuat kita merasa kuat. Ketika kita memilih untuk membenci, kita menemukan, bahwa dengan membenci, kita mengatasi kekecewaan di dalam diri kita sendiri. Kita memilih untuk membenci karena kita ingin merasakan getaran kekuasaan yang menggembirakan bukan kelemahan, realitas ideal bukan realitas yang tidak sempurna."

Itulah sebabnya, ada konflik nilai yang dilematis dalam praktiknya: baik itu antara keadilan dan aturan hukum, dan sebagainya—yang sebenarnya berawal dari rasa benci dan marah terhadap tindakan-tindakan tersebut. Perbedaan antara kita dan kelompok intoleran ini adalah, bahwa rasa marah itu ditujukan pada kelompok-kelompok tersebut; sedangkan mereka menujukannya pada realita, lalu menawarkan solusi yang didasari ideologi tertentu.

Pada titik tertentu, saya melihat bahwa Joker memiliki poin disitu: bahwa aturan sosial dan etik, tidak lebih dari hasil imajinasi manusia yang dipaksakan pada realitas. Ketika itu kemudian bertentangan dengan ‘self-interest’ kita—ataupun terkait kepentingan atau hasrat kolektif suatu masyarakat—maka bisa jadi justru kita sendirilah yang melanggar aturan itu. Seperti misalnya, sudah bukan lagi hal yang asing ketika terdengar suara-suara yang menginginkan hukuman mati kepada pelaku koruptor. 

Well, saya tidak sedang ingin menjadi orang yang sok moralis. Karena pada dasarnya, hal ini menyisakan sebuah pertanyaan untuk direnungkan: apakah dengan mematuhi moralitas standar, mungkinkah kita bisa melawan suatu pemikiran dan tindakan yang sulit untuk dimaafkan dengan adil?

Mengenai Tragedi Prancis

Di media sosial, terdapat pelbagai macam respon mengenai kasus penembakan yang terjadi di Prancis kemarin—terutama ketika diketahui bahwa ISIS terlibat dalam tragedi ini. Mulai dari pernyataan 'ISIS bukan bagian dari islam' hingga mengangkat kasus di Palestina. Ada juga teman-teman ateis yang menggunakan  tragedi ini untuk menyerang agama, seolah-olah agama secara inheren memang buruk. Saya pikir, respon-respon seperti ini menunjukkan bagaimana kualitas logika kita sebenarnya.

Slavoj Zizek dalam salah satu bukunya, God in Pain: Inversions of Apocalypse, menuliskan bahwa mayoritas orang sebenarnya bermoral: menyiksa atau membunuh orang lain memberikan efek traumatis kepada mereka. Jadi, dalam rangka untuk membuat mereka melakukannya, butuh 'penyebab atau pembenaran yang suci (sacred)' yang membuat pembunuhan tampak sebagai hal sepele, dan agama sangat cocok bertindak sebagai penyebabnya. 

Agama adalah semacam anestetis yang bisa membuat orang-orang tidak memiliki rasa bersalah ketika melakukan pembantaian, atau hal-hal semacamnya. Hal ini terjadi karena di dalam teks kitab suci itu sendiri, terlepas dari ayat-ayat yang menyerukan kebaikan, juga terdapat ayat-ayat kekerasan yang memberi sekat antara kaum beriman dan kaum kafir. Itu bisa dipahami, bahwa teks kitab suci yang kita baca saat ini tidak terlepas dari kepentingan politis ketika kitab suci itu dikodifikasi. Bahkan, kodifikasi Qur'an ketika pertama kali dibukukan, dilakukan di jaman Utsman dengan pendekatan kekuasaan melalui ingatan orang-orang yang menghafal Qur'an saat itu.  

Jadi, mengatakan ISIS bukan islam adalah salah satu bentuk denial ("pengelakan") bahwa dibalik dimensi profetis agama yang mengajarkan kebaikan, agama juga mengajarkan kekerasan. Itulah sebabnya Blaise Pascal pernah mengatakan, "Men never do evil so completely and cheerfully as when they do it from religious conviction." Begitu juga ketika ada yang mengangkat kasus kekerasan yang terjadi di Palestina. Tindakan seperti ini, selain mencerminkan sikap apologi dan denial, juga memperlihatkan kecacatan dalam berlogika: seolah-olah kita tidak peduli dengan kasus kemanusiaan yang terjadi di belahan bumi lainnya.

Saya mengerti, jika saya memposisikan diri dan melihat dari sudut pandang seorang muslim, bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kelompok ekstrimis ini berpotensi menciptakan stereotipe terhadap islam sebagai agama teroris; padahal, semangat yang dibawa islam pada tataran esensial adalah agama yang memberi rahmat pada semesta—dan tindakan kelompok ekstrimis ini tidak menunjukkan semangat tersebut. Saya paham bahwa keimanan kita terhadap agama, yang kemudian tidak sesuai dengan realitas yang ditunjukkan oleh kelompok ekstrimis ini, telah menciptakan disonansi kognitif yang membuat kita cenderung bersikap denial. Namun, bersikap defensif dan mengelak untuk melakukan refleksi ke dalam, bahwa terdapat ajakan untuk melakukan persekusi, kekerasan terhadap liyan, dan lain sebagainya; hanya menciptakan semacam ilusi: agama yang saya anut adalah agama rahmat; agama saya tidak mengajarkan demikian; kelompok tersebut bukan islam, serba bukan ini dan bukan itu. Namun, apakah sikap tersebut menjawab persoalan?

Yang menjadi masalah kemudian, teks-teks kitab suci tersebut tidak bisa direvisi, karena anggapan bahwa teks yang tertulis tersebut sudah sempurna ketika pertama kali diwahyukan oleh Tuhan. Ini membuat umat beragama berada di posisi dilema; yang kemudian dijawab melalui ‘tafsir’. Namun, masalah tidak berhenti sampai disitu saja. Sebagaimana yang kita tahu, bahwa adanya jarak pemisah antara garis waktu ketika wahyu tersebut turun dengan peradaban kita saat ini, memungkinkan munculnya pelbagai macam penafsiran. Lalu penafsiran siapa yang paling benar?

Tentu, akan melelahkan jika kita melihat masalah ini dalam dimensi hitam-putih; karena perkara benar-salah tidak sesimpel yang dibayangkan, terlebih jika telah memasuki wilayah yang transendental. Jadi saya pikir, daripada bersikap denial, akan lebih baik jika kita mengakui dan menerima: bahwa islam, dibalik semangatnya sebagai agama pembawa rahmat, juga memiliki sisi kelamnya tersendiri—terlepas dari teori-teori konspirasi mengenai bagaimana kelompok garis keras seperti ISIS ini muncul. Karena dengan begitu, kita akhirnya memutuskan salah satu lingkaran kebodohan yang seolah-olah telah menjadi obsesi ketika terjadi kasus kekerasan yang melibatkan agama.

Di sisi yang lain, sikap sebagian teman-teman ateis yang memanfaatkan tragedi ini untuk menyerang agama, juga memperlihatkan bahwa pada tingkatan tertentu, ateisme mirip dengan penganut agama atau ideologi lainnya: bahwa terdapat jenis-jenis orang yang berdiri di polar-polar yang netral (moderat) hingga ekstrim (anti-agama). Agama tidak lagi dilihat secara objektif, namun dianggap sebagai sumber penyebab kekerasan—seolah kekerasan adalah persoalan satu dimensi. Padahal, sejak ratusan ribu tahun yang lalu, di awal peradaban Homo sapiens sebelum adanya agama, konflik sudah sering terjadi.  Tidak jarang, berawal dari hal ini, muncullah ide yang cenderung konyol dengan melarang pengungsi Suriah masuk ke Eropa dengan menggeneralisasi bahwa pengungsi Suriahlah akar masalah adanya tindak terorisme di Paris kemarin. Selain memperlihatkan xenopobia, argumen tersebut juga sarat akan kesesatan dalam berlogika (logical fallacy).

Namun, ini bukan berarti saya mengatakan bahwa agama tidak boleh dikritik. Tetapi, mengkritik agama tetap harus dilakukan dengan jernih tanpa dipengaruhi bias-bias yang tidak perlu. Karena seperti yang dikatakan oleh Jacques Lacan, yang kemudian diteruskan oleh Slavoj Zizek —ketika membantah pendapat Dostoevsky, melalui karakter Ivan Karamazov yang dituliskan dalam novelnya yang mengungkapkan “jika Tuhan tidak ada, maka segalanya diperbolehkan” —  dengan pernyataannya: "jika Tuhan itu eksis, maka segalanya diperbolehkan." Karena akan selalu ada sekelompok orang yang merasa mewakili Tuhan untuk melakukan tindakannya, seperti yang dilakukan oleh ISIS kemarin atau kelompok-kelompok garis keras lainnya.

Terkait dengan hal ini, saya menjadi teringat dengan Soren Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis, yang pernah berkata bahwa orang-orang meminta kebebasan bersuara, sebagai kompensasi atas kebebasan berpikir yang jarang mereka gunakan. Walaupun kalimat itu dituliskannya sudah lebih dari seabad yang lalu dalam bukunya Either/Or, namun pernyataannya masih relevan dengan realitas masyarakat kita saat ini: terlalu banyak orang yang berkomentar mengenai suatu hal, namun tidak didasari pemikiran yang jelas. 

***
 
Tulisan ini juga dimuat di The Geo Times 

Dosa Peradaban

Hujan sore itu cukup deras membasahi jalan. Sebuah kemewahan tersendiri untuk suatu daerah yang tandus. Aroma petrikor hujan, sekilas menciptakan semacam eskapisme: mengalihkan pikiran sejenak dari realita yang begitu ngehek dan kadang brengsek

“ Peradaban kita dibangun di atas sebuah dosa, “ ucap datar seorang bocah yang enigmatik, sambil menatap kosong jalan yang dipadati kendaraan; terlihat bahwa dia sedang memikirkan sesuatu.

“ Apa maksudmu? “ Tanyaku atas celetuknya yang membawaku kembali ke dunia nyata.

“ Coba pikirkan ini. Sejak revolusi industri, kapital telah memaksa para pekerja dengan ‘roda-roda pemintal’ untuk menjual dirinya sebagai komoditas. Hal ini bahkan membuat si tua Marx menyebarkan gagasannya dalam sebuah manifesto: bahwa telah tercipta kelas antara kaum borjuis dan kaum proletar....”

“ Itu baru satu hal. Bahkan agama yang selalu diklaim sebagai agama penyelamat disebarkan melalui jalan perang dan darah (kolonisasi dan aneksasi);  kemerdekaan kita pun dibangun di atas jutaan mayat. Segala kenikmatan yang kita rasakan saat ini, merupakan hasil dari penderitaan orang lain. Makanan yang kau konsumsi; ponsel yang kau pakai, semuanya, merupakan cerminan dari keringat para petani dan buruh, “ sambungnya.

“ Dosa kolektif, “ gumamku. “ Sepertinya kita memang telah membunuh Tuhan. ”

“ Bukankah Nietzche sudah memperingatkan kita melalui Sabda Zarathustra? Namun ya, seperti yang dikatakannya: aku bukanlah mulut untuk telinga-telinga ini. “

“ Dan kita menikmatinya, seolah kita adalah seorang nekrofilik. Kita menikmati dosa ini, sambil melakukan ritual pemujaan di atas mayat Tuhan. “

“ Tepat. Kita menikmati dosa-dosa ini, selama perut kita terisi. Rezim Orde Ba(r)u bahkan mampu bertahan selama 32 tahun karena strategi ini; dan baru tumbang ketika terjadi krisis ekonomi yang membuatnya tidak bisa lagi mengisi perut-perut rakyatnya—bukan karena dosa besar yang telah dilakukan rezim ini. Maka jangan heran ketika ada sebagian orang yang merindukan rezim ini, seolah rezim tersebut telah menciptakan semacam romantisme masa lalu: harga murah dan rakyat yang sejahtera. Padahal, rezim totaliter dimanapun itu, selalu mencukupi kebutuhan rakyatnya sebelum menindasnya. “

“ Ya, rezim yang dibangun di atas penderitaan ratusan ribu hingga jutaan orang yang disebut berdosa dan dihakimi karena sebuah label. Bahkan komandan jagalnya akan dinobatkan sebagai pahlawan karena tindakan heroiknya yang mengklaim membunuh tiga juta orang. “

Well, Masih ada sebagian orang yang evolusi pemikirannya  masih di bawah kera yang jauh lebih toleran. Saya lebih suka menyebutnya dengan istilah ‘produk gagal evolusi.’ Itulah pentingnya menyebarkan ide di dunia yang gila, teman. Karena kegilaan adalah semacam patologi, dan itu bisa menular. Tetapi mekanisme yang sama berlaku bagi kewarasan. Kau hanya perlu membuka pikiranmu. Jika kau merasa terserang karena sebuah ide yang bertentangan dengan keyakinanmu, berarti pemikiranmu masih belum cukup terbuka. “

“Jika begitu, konsekuensi logisnya, terdapat perbedaan mendasar mengenai ‘tindakan nyata’ antara dulu dan sekarang, bukan? “

“ Tepat sekali. Konteksnya berbeda sekarang. Slavoj Zizek pernah mengatakan bahwa formula Marxis sudah perlu diubah. Jika dulu formula Marxis adalah: ‘filsuf hanya menginterpretasikan dunia; maka sudah waktunya mengubahnya,’ maka Zizek menentang hal tersebut dengan pernyataannya bahwa ‘di abad kedua puluh, kita mungkin mencoba mengubah dunia terlalu cepat.  Sudah waktunya untuk kembali menginterpretasikannya lagi, untuk mulai berpikir’. Walaupun itu diucapkan ketika dia berbicara mengenai kapitalisme, tetapi saya pikir, perkataannya juga berlaku pada hal ini. Jika dulu yang dimaksud dengan tindakan nyata adalah sebuah aksi massa, atau hal-hal semacamnya; maka sekarang, kita harus duduk dan memulai berpikir lagi. Melihat akar permasalahannya, menyentuh hal-hal yang lebih fundamental dari sekadar melakukan aksi massa.

“ Orang-orang meminta kebebasan bersuara sebagai kompensasi atas kebebasan berpikir yang jarang mereka gunakan, kata Kierkegaard suatu waktu. Sepertinya, Kierkegaard menembak tepat pada sasaran. “

[...]

“ Dari semua realita ini, pernahkah kau mencoba melihat dari sudut pandang Tuhan? Sepertinya kita salah, teman. ” Dia memalingkan wajahnya kepadaku sambil tersenyum simpul.

“ Hmm...” Pikirku sejenak, mencoba memahami maksud dari kalimatnya. “Kau benar. . Kita melewatkan bagian itu. Sepertinya, Tuhan hanya berpura-pura mati ketika manusia membunuh-Nya. Sejak awal, Dia telah berkoalisi dengan iblis ketika Adam diciptakan. Itu adalah bagian dari skenario-Nya. Kebebasan iblis. Saya pikir, Paradox Epicurus telah terjawab. “

“ Ya, bagian dari rancang agung-Nya. Lawakan besarnya. Paradox Epicurus secara implisit mengatakan bahwa Tuhan itu Maha Humoris. “

“ Benar.. Sayangnya Tuhan adalah pelawak yang buruk. Setidaknya, bagi sebagian orang. “

Waktu berjalan lambat di hari itu. Di akhir pembicaraan, saya menyetel lagu dari Pink Floyd dan kami menikmati musiknya yang berbau filosofis. Ketika bait lirik yang ditulis oleh Roger Waters terdengar: ‘Mother, should I trust the government?’ kami berdua tertawa lepas.

“ Sepertinya Tuhan perlu belajar dari Pink Floyd, “ ucap bocah itu sambil tertawa.


Antara Harper Lee dan Manusia Ngehek

Saya baru sempat membaca tulisan Harper Lee: To Kill a Mockingbird; tulisan yang lebih tepat jika disebut memoar yang diceritakan dari sudut pandang seorang anak kecil, Scout Finch. Ada hal menarik mengenai novel ini; bagaimana stereotipe berkembang terhadap tokoh-tokoh dengan latar-belakang tertentu: jika kau seorang Crawford berarti kau adalah tukang gosip; jika kau seorang Cunningham, maka kau pasti miskin; dan jika kau adalah seorang kulit hitam, maka kau adalah sampah masyarakatsosok yang amoral, bahkan cukup berbahaya ketika mendekati wanita kulit putih.

Disinilah kasusnya. Atticus Finch, pengacara sekaligus ayah dari Scout, mendapatkan kecaman dari seluruh penjuru ketika membela seorang nigger yang bernama Tom Robinson atas tuduhan pemerkosaan. Tuduhan ini dibebankan kepada Tom Robinson, berdasarkan norma masyarakat yang kaku dan telah mengakar, bahwa wanita kulit putih yang menggoda kulit hitam akan dilecehkan di tengah-tengah masyarakat dan tak layak diajak hidup bersama. 

Mayella Ewell, wanita kulit putih yang mengaku diperkosa, telah melanggar norma tersebut, sehingga merasa harus melenyapkan Tom Robinsonkarena sosoknya akan selalu mengingatkan dirinya tentang perbuatannya terhadap Tom. Dia menggoda seorang negro, sesuatu yang tidak terbayangkan dalam masyarakat: dia mencium seorang kulit hitamnamun dipergoki oleh ayahnya, Bob Ewell. 

Dengan memanfaatkan stereotipe terhadap kulit hitam yang tentu saja akan mempengaruhi keputusan juri  dirinya menuduh Tom telah memerkosanya untuk membersihkan namanya. Saya pribadi menyukai bagian ini, ketika Atticus memperjelas ketidak-bersalahan Tom Robinson dengan argumennya yang elegan. Walaupun pada akhirnya, sesuai dugaan, Tom Robinson tetap dianggap bersalah; hanya karena dia seorang kulit hitam.

Saya pikir, bagian menarik dari novel ini selain dari isu rasisme yang diangkat oleh Leeterlihat dari sosok Atticus Finch; bagaimana dirinya mendidik anak-anaknya, Scout dan Jem, terkait prasangka terhadap seseorang. Ketika Scout dan Jem memiliki prasangka terhadap Boo Radley yang misterius dengan menganggapnya seperti seorang monster, atau ketika Mrs. Dubose mengatai Atticus bahwa dirinya tak lebih baik dari nigger dan sampah yang dibelanya, sehingga membuat Jem marah karena ayahnya dihina; dia menyampaikan pesan yang jelas: "kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya; hingga kau menyusup ke balik kulitnya, dan menjalani hidup dengan caranya." 

Boo Radley yang dibayangkan seperti monster oleh Scout dan Jem pun, ternyata adalah sosok yang manis. Harper Lee menyinggung hal ini melalui percakapan Scout dengan ayahnya, ketika Atticus membacakan buku milik Jem, The Grey Ghost:

"Dan mereka memburunya, tetapi tak pernah menangkapnya karena mereka tak tahu seperti apa rupanya, lalu Atticus, ketika akhirnya mereka melihatnya, ternyata dia tak pernah melakukan hal-hal tersebut ... Atticus, dia benar-benar baik ...."

"Begitulah sebagian besar manusia, Scout, ketika kau mengerti mereka."
Tidak mengherankan bahwa novel Lee, walaupun diterbitkan pertama kali tahun 1960, termasuk sebagai buku yang harus dibaca sebelum mati. Situasi yang digambarkan pada novel ini, bahkan masih tercermin sampai sekarang: bagaimana kata maaf menjadi sangat mahal bagi korban yang terduga PKI akibat stereotipe hasil propaganda Orde Ba(r)u; bagaimana Syi'ah dan Ahmadiyah dianggap sesat sehingga membenarkan kekerasan terhadapnya; dan sebagainya, dan sebagainya. Novel ini merupakan sindiran keras kepada para manusia ngehek, yang melihat manusia tidak sebagai manusia; namun sebagai seonggok daging yang nilainya ditentukan oleh label yang melekat padanya.

Kebebasan Berpendapat dan Ujaran Kebencian

Baru-baru ini, polri mengeluarkan surat edaran mengenai hate speech sebagai respon atas maraknya konflik horizontal di masyarakat akibat perkataan-perkataan yang provokatif dan sarat akan kebencian. Walaupun hal ini merupakan gagasan lama, tetapi aturan ini sangat patut untuk didukung dan diapresiasi; bercermin kembali pada kasus Penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik atau Syi'ah Sampang, konflik antara mayoritas-minoritas kerap kali terjadi akibat ungkapan provokatif, seperti kebencian terhadap Syi'ah karena anggapan Syi'ah bukan islamkasus ini pun sebenarnya sudah termasuk sebagai hate crime

Tetapi aturan ini perlu dipertimbangkan lagi, terkait batasan yang dimaksud dari ujaran kebencian tersebut. Mengacu pada surat edaran ini, disebutkan bahwa 'pencemaran nama baik' dan 'perbuatan tidak menyenangkan' bahkan termasuk sebagai ungkapan kebencian; sehingga penafsiran atas aturan ini berpotensi meluas, karena adanya pasal karet di dalamnya. Jika definisi dari ujaran kebencian masih kabur seperti ini, aturan ini bisa menjadi senjata untuk membungkam kritik terhadap penguasa; toh kritik keras dan kecaman bisa saja dianggap sebagai pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan.

Di pelbagai negara demokrasi, aturan mengenai hate speech telah diaplikasikan dalam peraturan perundang-undangannya dengan batasan yang konkrit; walaupun tidak ada definisi yang universal dalam penekanannya, namun batasannya jelas, yaitu ujaran yang menyerang, mengancam, atau menghina orang perorang atau kelompok dengan dasar asal-usul kebangsaan, etnisitas, warna kulit, agama, gender, identitas gender, orientasi seksual, atau disabilitas. Walaupun di dalam surat edaran itu, penekanan mengenai batasan dari ujaran kebencian ini hampir serupa; namun karena adanya aturan yang bersifat lentur di dalamnya, maka aturan ini bisa menjadi sumber masalah baruseperti yang telah saya sebutkan diatas.

Di satu sisi, aturan ini diperlukan sebagai upaya preventif terjadinya konflik horizontal antar masyarakat; namun, jika melihat pelbagai kerancuan di dalamnya, aturan ini justru bisa dipakai oleh penguasa untuk bertindak represif. Sebagai negara yang praktik demokrasinya masih berada pada tahap embrional (belum mapan), Polri tidak bisa memonopoli penafsiran mengenai ujaran kebencian yang telah ditetapkan oleh peraturan yang ada; dengan pertimbangan bahwa belum adanya bukti konkrit dari kemampuan polisi dalam penanganan kasus-kasus hate crimeyang biasanya dipicu oleh hate speech. Dikhawatirkannya, monopoli penafsiran dari Polri hanya akan menciptakan suatu ironi: tersumbatnya hak kebebasan berpendapat di suatu negara demokrasi. Dus, aturan ini masih belum menjelaskan secara eksplisit batasan-batasan yang dimaksud dari ujaran kebencian.  

Secara prinsip, saya tidak menolak adanya aturan mengenai hate speech ini. Hanya saja, menurut hemat saya, aturan ini masih cacat dan perlu diperbaiki lagi. Karena jika seperti ini, akan ada ketimpangan antara tujuan yang ingin dicapai dengan realisasi dari aturan ini. Jangan sampai aturan ini justru menjadi pembenaran bagi aparatur negara untuk bertindak represif terkait hak kebebasan berpendapat.

Syi'ah dan Parodi Politik

"Ordinary people have five senses. If you are lucky, you will have six. If you are really lucky you'll make no sense at all and become a politician." 
Robert HM, dalam A Cup of Wisdom with a Shot of Sarcasm

Jadi begini.. Pemerintah Bogor melarang warga Syi'ah merayakan Peringatan Asyura dengan mempertimbangkan sikap dan respon Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai paham syi'ah yang divonis sesat. Klaimnya, hal tersebut dilakukan untuk menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban di Kota Bogor. "Sikap kesatria" Pak Walikota Bogor, seolah-olah menunjukkan bahwa MUI adalah pemilik otoritas tertinggi; dan secara struktural, jabatan walikota berada di bawah MUI.

Mengenai vonis kesesatan Syi'ah, hal yang lucu ketika mengetahui bahwa Syi'ah seringkali dilabeli sesat, justru disebabkan karena sebagian orang yang gagal paham terhadap mazhab ini. Pemahaman terhadap Syi'ah didasarkan terhadap bias-bias di dalam pemikiran mereka, karena sejak awal mereka telah meyakini Syi'ah sebagai mazhab sesat. Sesat pikir dan bias kognitif, menyebabkan sebagian orang tidak mampu melihat mazhab ini secara objektif. Padahal, Syi'ah adalah salah satu mazhab yang diakui di Risalah Amman.

Doktrin-doktrin mengenai Syi'ah bukan islam, seringkali mengandung strawman fallacy, dengan membuat argumen yang membengkokkan ajaran mazhab tersebut, kemudian diserang dengan tujuan menjatuhkan Syi'ah. Walaupun tidak bisa dipungkiri, ada aliran-aliran dari Syi'ah yang memang dinyatakan menyimpang; namun, generalisasi berlebihan terhadap mazhab ini juga termasuk sesat pikir.

Maka dari itu, perlu perbandingan dalam melihat mazhab Syi'ah sebagai suatu ajaranpada konteks ini, yaitu melihat Syi'ah dari sudut pandang ulamanya yang muktabar (sah).[1] Bahkan Gus Dur pernah mengatakan, “Nahdatul Ulama (NU) itu Syiah minus Imamah. Syiah itu NU plus Imamah” karena banyaknya kesamaan antara substansi ajaran NU dan Syi'ah secara tradisi dan ibadah.

Dari sisi historis sendiri, tercatat bahwa kemungkinan Syiah sudah ada sejak awal islam masuk ke Nusantarawalaupun masih terjadi perdebatan mengenai hal ini. Tapi satu hal yang pasti, bahwa mazhab Syi'ah adalah salah satu mazhab yang memiliki pengaruh secara kultural di Nusantara. Sehingga, tidak etis jika mazhab ini justru didiskriminasi di Nusantara karena pengaruh kelompok salah paham. Kalaupun seandainya mazhab Syi'ah memanglah mazhab sesat, melakukan diskriminasi kepada mazhab ini tetaplah hal yang inkonstitusional; karena secara hukum, negara ini telah menjamin kebebasan beragama. Menjadi sebuah ironi ketika pemerintah yang harusnya menjamin kebebasan rakyatnya yang justru melanggar konstitusi ini.

Kejadian-kejadian seperti ini juga menunjukkan, bahwa di Indonesia, agama memiliki kelas. Aliran seperti Syi'ah dan Ahmadiyah atau agama minoritas lainnya dianggap sebagai "kelas budak yang sesat", dan kelompok mayoritas yang sedang masturbasi iman adalah "kelas penguasa". Lalu, Tuhan siapa yang berfirman "janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil" ? Ataukah Tuhan telah terilhami teori kelas Marxisme pada konteks yang berbeda sebelum menciptakan manusia?

Menurut hemat saya, kondisi sosial seperti ini telah menjadikan agama sebagai komoditas politik. Dan Bima Arya, seperti politisi lainnya, telah memainkan kartunya dengan baik. Dia adalah seseorang yang mewakili kalimat yang saya kutip di awal tulisan ini, bahwa Bima Arya adalah seorang politisi yang sangat beruntung, dan tentu saja berjiwa kesatria: karena dia rela mengorbankan diri untuk melanggar konstitusi agar kelompok intoleran tidak melanggar hukum.


[1] Saya merekomendasikan referensi bacaan yang relevan mengenai Syi'ah dari sudut pandang ulamanya yang muktabar pada "Buku Putih Mazhab Syiah "

Indonesia dan Masyarakat Nekrofilik

Sekitar enam bulan yang lalu, delapan terpidana mati kasus narkoba telah dieksekusi; dengan alasan bahwa mereka adalah bagian dari penyebab tewasnya 40-50 orang pecandu narkoba setiap hari—walaupun tidak pernah diungkapkan, apakah kematian itu merupakan sebab langsung atau tidak langsung. Logika yang membenarkan hukuman mati karena alasan seperti ini, akan menjadi sebuah standar ganda ketika dihadapkan pada fakta bahwa terdapat 300.000 kematian per tahun di Indonesia terkait rokok (menurut WHO); toh, pemerintah tidak mengeksekusi pemilik industri rokok atau pedagang eceran yang menjual rokok.

Walaupun tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa eksekusi mati memiliki efek deteren terhadap potensi kejahatan; tetapi kita, sebagai masyarakat Indonesia, selalu ingin mensimplifikasi persoalan: bahwa untuk menyelesaikan masalah kejahatan, solusinya adalah hukuman mati. Ketika ada pejabat yang korupsi, hukum mati para koruptor! Ketika ada kasus pelecehan seksual, eksekusi mati pelakunya! Seolah-olah, kejahatan adalah persoalan satu dimensi. 

Sedikit memperluas perspektif, negara-negara penganut hukuman mati terhadap koruptor seperti China, Iran, Korea Utara, dan Vietnam, justru adalah negara dengan tingkat korupsi yang tinggi berdasarkan Corruption Perception Index. Sebagai pembanding, rata-rata negara paling bersih dari korupsi, justru tidak menerapkan hukuman mati bagi koruptor, seperti Denmark dan Selandia Baru. Walaupun ada juga negara bersih yang menerapkan hukuman mati seperti Singapura dan Taiwan. Dalam kasus ini, terlihat bahwa ada variabel yang lebih luas terkait terjadinya kejahatan di suatu negara—tidak sesimpel logika menerapkan hukuman mati, maka negara menjadi bersih.

Jika bercermin pada negara-negara tadi, sebenarnya dapat dianalisis bahwa pelbagai ketimpangan sosial yang terjadi, lebih disebabkan karena negara yang gagal memberi kesejahteraan pada rakyatnya. Negara-negara seperti Denmark, Selandia Baru, Singapura dan Taiwan termasuk sebagai negara paling damai menurut Global Peace Index.[1] Sebaliknya bagi China, Iran, Vietnam, dan Korea Utara; negara-negara ini adalah negara yang tidak damai—walaupun Vietnam lebih tepat jika digolongkan sebagai negara yang 'tidak terlalu damai' (bukan tidak damai) sama seperti Indonesia. 

Negara yang heterogen seperti Indonesia, memiliki potensi yang cukup besar terjadinya konflik horizontal, terlebih jika konfliknya perihal agama. Dengan potensi konflik yang tinggi, disaat yang bersamaan, negara justru tidak hadir bagi masyarakatnya; padahal kalimat "negara menjamin hak dan kebebasan beragama" selalu diulang-ulang untuk mencerminkan penerapan sila pertama Pancasila. Pada kenyataannya, negara justru seringkali menjadi medium terjadinya konflik, seperti yang terjadi pada muslim Ahmadiyah di Cikeusik akibat peraturan anti-Ahmadiyah atau pelarangan Peringatan Asyura muslim Syi'ah oleh walikota Bogor.

Begitu juga ketika melihat sistem pendidikan di Indonesia yang buruk, seperti yang dikatakan oleh Pak Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika ITB, melalui pertanyaan retoris: "sudahkah sistem pendidikan mendesain atau mereka cipta pembelajaran bagi anak untuk mengembangkan kebaikan?" Kenyataannya, baik secara internal atau eksternal, sistem pendidikan di Indonesia seolah menuntut usaha keras siswa untuk menjadi bodoh. Belum lagi dengan sistem ospek ala feodalisme yang telah menjadi budaya turun-temurun yang dilakukan oleh para 'aparat kampus' dengan alasan membentuk kedisiplinan.

Variabel-variabel inilah yang menjadi akar permasalahan tingginya tingkat kriminalitas di Indonesia. Tentu adalah sebuah sesat pikir, jika berharap tingkat kejahatan menurun dengan melimpahkan solusi pada hukuman mati tanpa membenahi akar permasalahannya. Hukuman mati adalah hukuman yang didasari tradisi teologis zaman dulu, 'eye for an eye' , mata diganti mata; yang sudah tidak relevan jika diterapkan pada konteks zaman sekarang.

Memberlakukan hukuman mati pada pelaku kejahatan tertentu, walaupun tidak ada efek deteran terhadapnya, hanya menciptakan semacam 'voyeurisme' nekrofilik: memberikan kenikmatan dan kepuasan melihat pelaku kejahatan mati atas tindakan yang dilakukannya. Meminjam kutipan Djatmiko Tanuwidjojo, "Hukuman mati adalah skandal kemanusiaan. Ia adalah birokratisasi dan seremoni kematian yang direncanakan, dianggarkan, diumumkan, bahkan kadang dirayakan. Kematian akhirnya bukan lagi pengalaman eksistensial yang datangnya tak diketahui —sebagaimana frasa biblis menyebut— ibarat pencuri yang datang di malam kelam, "absolute arrivant", melainkan telah menjadi sekadar objek dari manajemen perencanaan belaka. Hukuman mati, akhirnya, tak lebih dari balas dendam yang dilembagakan. Dan itu adalah skandal."


[1] Data lengkap dari Global Peace Index dapat dilihat di Global Peace Index Report (2013).