Berpikir Bebas Melawan Arus

Syi'ah dan Parodi Politik

"Ordinary people have five senses. If you are lucky, you will have six. If you are really lucky you'll make no sense at all and become a politician." 
Robert HM, dalam A Cup of Wisdom with a Shot of Sarcasm

Jadi begini.. Pemerintah Bogor melarang warga Syi'ah merayakan Peringatan Asyura dengan mempertimbangkan sikap dan respon Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai paham syi'ah yang divonis sesat. Klaimnya, hal tersebut dilakukan untuk menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban di Kota Bogor. "Sikap kesatria" Pak Walikota Bogor, seolah-olah menunjukkan bahwa MUI adalah pemilik otoritas tertinggi; dan secara struktural, jabatan walikota berada di bawah MUI.

Mengenai vonis kesesatan Syi'ah, hal yang lucu ketika mengetahui bahwa Syi'ah seringkali dilabeli sesat, justru disebabkan karena sebagian orang yang gagal paham terhadap mazhab ini. Pemahaman terhadap Syi'ah didasarkan terhadap bias-bias di dalam pemikiran mereka, karena sejak awal mereka telah meyakini Syi'ah sebagai mazhab sesat. Sesat pikir dan bias kognitif, menyebabkan sebagian orang tidak mampu melihat mazhab ini secara objektif. Padahal, Syi'ah adalah salah satu mazhab yang diakui di Risalah Amman.

Doktrin-doktrin mengenai Syi'ah bukan islam, seringkali mengandung strawman fallacy, dengan membuat argumen yang membengkokkan ajaran mazhab tersebut, kemudian diserang dengan tujuan menjatuhkan Syi'ah. Walaupun tidak bisa dipungkiri, ada aliran-aliran dari Syi'ah yang memang dinyatakan menyimpang; namun, generalisasi berlebihan terhadap mazhab ini juga termasuk sesat pikir.

Maka dari itu, perlu perbandingan dalam melihat mazhab Syi'ah sebagai suatu ajaranpada konteks ini, yaitu melihat Syi'ah dari sudut pandang ulamanya yang muktabar (sah).[1] Bahkan Gus Dur pernah mengatakan, “Nahdatul Ulama (NU) itu Syiah minus Imamah. Syiah itu NU plus Imamah” karena banyaknya kesamaan antara substansi ajaran NU dan Syi'ah secara tradisi dan ibadah.

Dari sisi historis sendiri, tercatat bahwa kemungkinan Syiah sudah ada sejak awal islam masuk ke Nusantarawalaupun masih terjadi perdebatan mengenai hal ini. Tapi satu hal yang pasti, bahwa mazhab Syi'ah adalah salah satu mazhab yang memiliki pengaruh secara kultural di Nusantara. Sehingga, tidak etis jika mazhab ini justru didiskriminasi di Nusantara karena pengaruh kelompok salah paham. Kalaupun seandainya mazhab Syi'ah memanglah mazhab sesat, melakukan diskriminasi kepada mazhab ini tetaplah hal yang inkonstitusional; karena secara hukum, negara ini telah menjamin kebebasan beragama. Menjadi sebuah ironi ketika pemerintah yang harusnya menjamin kebebasan rakyatnya yang justru melanggar konstitusi ini.

Kejadian-kejadian seperti ini juga menunjukkan, bahwa di Indonesia, agama memiliki kelas. Aliran seperti Syi'ah dan Ahmadiyah atau agama minoritas lainnya dianggap sebagai "kelas budak yang sesat", dan kelompok mayoritas yang sedang masturbasi iman adalah "kelas penguasa". Lalu, Tuhan siapa yang berfirman "janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil" ? Ataukah Tuhan telah terilhami teori kelas Marxisme pada konteks yang berbeda sebelum menciptakan manusia?

Menurut hemat saya, kondisi sosial seperti ini telah menjadikan agama sebagai komoditas politik. Dan Bima Arya, seperti politisi lainnya, telah memainkan kartunya dengan baik. Dia adalah seseorang yang mewakili kalimat yang saya kutip di awal tulisan ini, bahwa Bima Arya adalah seorang politisi yang sangat beruntung, dan tentu saja berjiwa kesatria: karena dia rela mengorbankan diri untuk melanggar konstitusi agar kelompok intoleran tidak melanggar hukum.


[1] Saya merekomendasikan referensi bacaan yang relevan mengenai Syi'ah dari sudut pandang ulamanya yang muktabar pada "Buku Putih Mazhab Syiah "

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave a Comment...