Berpikir Bebas Melawan Arus

Dosa Peradaban

Hujan sore itu cukup deras membasahi jalan. Sebuah kemewahan tersendiri untuk suatu daerah yang tandus. Aroma petrikor hujan, sekilas menciptakan semacam eskapisme: mengalihkan pikiran sejenak dari realita yang begitu ngehek dan kadang brengsek

“ Peradaban kita dibangun di atas sebuah dosa, “ ucap datar seorang bocah yang enigmatik, sambil menatap kosong jalan yang dipadati kendaraan; terlihat bahwa dia sedang memikirkan sesuatu.

“ Apa maksudmu? “ Tanyaku atas celetuknya yang membawaku kembali ke dunia nyata.

“ Coba pikirkan ini. Sejak revolusi industri, kapital telah memaksa para pekerja dengan ‘roda-roda pemintal’ untuk menjual dirinya sebagai komoditas. Hal ini bahkan membuat si tua Marx menyebarkan gagasannya dalam sebuah manifesto: bahwa telah tercipta kelas antara kaum borjuis dan kaum proletar....”

“ Itu baru satu hal. Bahkan agama yang selalu diklaim sebagai agama penyelamat disebarkan melalui jalan perang dan darah (kolonisasi dan aneksasi);  kemerdekaan kita pun dibangun di atas jutaan mayat. Segala kenikmatan yang kita rasakan saat ini, merupakan hasil dari penderitaan orang lain. Makanan yang kau konsumsi; ponsel yang kau pakai, semuanya, merupakan cerminan dari keringat para petani dan buruh, “ sambungnya.

“ Dosa kolektif, “ gumamku. “ Sepertinya kita memang telah membunuh Tuhan. ”

“ Bukankah Nietzche sudah memperingatkan kita melalui Sabda Zarathustra? Namun ya, seperti yang dikatakannya: aku bukanlah mulut untuk telinga-telinga ini. “

“ Dan kita menikmatinya, seolah kita adalah seorang nekrofilik. Kita menikmati dosa ini, sambil melakukan ritual pemujaan di atas mayat Tuhan. “

“ Tepat. Kita menikmati dosa-dosa ini, selama perut kita terisi. Rezim Orde Ba(r)u bahkan mampu bertahan selama 32 tahun karena strategi ini; dan baru tumbang ketika terjadi krisis ekonomi yang membuatnya tidak bisa lagi mengisi perut-perut rakyatnya—bukan karena dosa besar yang telah dilakukan rezim ini. Maka jangan heran ketika ada sebagian orang yang merindukan rezim ini, seolah rezim tersebut telah menciptakan semacam romantisme masa lalu: harga murah dan rakyat yang sejahtera. Padahal, rezim totaliter dimanapun itu, selalu mencukupi kebutuhan rakyatnya sebelum menindasnya. “

“ Ya, rezim yang dibangun di atas penderitaan ratusan ribu hingga jutaan orang yang disebut berdosa dan dihakimi karena sebuah label. Bahkan komandan jagalnya akan dinobatkan sebagai pahlawan karena tindakan heroiknya yang mengklaim membunuh tiga juta orang. “

Well, Masih ada sebagian orang yang evolusi pemikirannya  masih di bawah kera yang jauh lebih toleran. Saya lebih suka menyebutnya dengan istilah ‘produk gagal evolusi.’ Itulah pentingnya menyebarkan ide di dunia yang gila, teman. Karena kegilaan adalah semacam patologi, dan itu bisa menular. Tetapi mekanisme yang sama berlaku bagi kewarasan. Kau hanya perlu membuka pikiranmu. Jika kau merasa terserang karena sebuah ide yang bertentangan dengan keyakinanmu, berarti pemikiranmu masih belum cukup terbuka. “

“Jika begitu, konsekuensi logisnya, terdapat perbedaan mendasar mengenai ‘tindakan nyata’ antara dulu dan sekarang, bukan? “

“ Tepat sekali. Konteksnya berbeda sekarang. Slavoj Zizek pernah mengatakan bahwa formula Marxis sudah perlu diubah. Jika dulu formula Marxis adalah: ‘filsuf hanya menginterpretasikan dunia; maka sudah waktunya mengubahnya,’ maka Zizek menentang hal tersebut dengan pernyataannya bahwa ‘di abad kedua puluh, kita mungkin mencoba mengubah dunia terlalu cepat.  Sudah waktunya untuk kembali menginterpretasikannya lagi, untuk mulai berpikir’. Walaupun itu diucapkan ketika dia berbicara mengenai kapitalisme, tetapi saya pikir, perkataannya juga berlaku pada hal ini. Jika dulu yang dimaksud dengan tindakan nyata adalah sebuah aksi massa, atau hal-hal semacamnya; maka sekarang, kita harus duduk dan memulai berpikir lagi. Melihat akar permasalahannya, menyentuh hal-hal yang lebih fundamental dari sekadar melakukan aksi massa.

“ Orang-orang meminta kebebasan bersuara sebagai kompensasi atas kebebasan berpikir yang jarang mereka gunakan, kata Kierkegaard suatu waktu. Sepertinya, Kierkegaard menembak tepat pada sasaran. “

[...]

“ Dari semua realita ini, pernahkah kau mencoba melihat dari sudut pandang Tuhan? Sepertinya kita salah, teman. ” Dia memalingkan wajahnya kepadaku sambil tersenyum simpul.

“ Hmm...” Pikirku sejenak, mencoba memahami maksud dari kalimatnya. “Kau benar. . Kita melewatkan bagian itu. Sepertinya, Tuhan hanya berpura-pura mati ketika manusia membunuh-Nya. Sejak awal, Dia telah berkoalisi dengan iblis ketika Adam diciptakan. Itu adalah bagian dari skenario-Nya. Kebebasan iblis. Saya pikir, Paradox Epicurus telah terjawab. “

“ Ya, bagian dari rancang agung-Nya. Lawakan besarnya. Paradox Epicurus secara implisit mengatakan bahwa Tuhan itu Maha Humoris. “

“ Benar.. Sayangnya Tuhan adalah pelawak yang buruk. Setidaknya, bagi sebagian orang. “

Waktu berjalan lambat di hari itu. Di akhir pembicaraan, saya menyetel lagu dari Pink Floyd dan kami menikmati musiknya yang berbau filosofis. Ketika bait lirik yang ditulis oleh Roger Waters terdengar: ‘Mother, should I trust the government?’ kami berdua tertawa lepas.

“ Sepertinya Tuhan perlu belajar dari Pink Floyd, “ ucap bocah itu sambil tertawa.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave a Comment...