Di media sosial, terdapat pelbagai macam respon mengenai
kasus penembakan yang terjadi di Prancis kemarin—terutama ketika diketahui
bahwa ISIS terlibat dalam tragedi ini. Mulai dari pernyataan 'ISIS bukan bagian
dari islam' hingga mengangkat kasus di Palestina. Ada juga teman-teman ateis
yang menggunakan tragedi ini untuk menyerang agama, seolah-olah agama
secara inheren memang buruk. Saya pikir, respon-respon seperti ini menunjukkan
bagaimana kualitas logika kita sebenarnya.
Slavoj Zizek dalam salah satu bukunya, God in Pain: Inversions of Apocalypse,
menuliskan bahwa mayoritas orang sebenarnya bermoral: menyiksa atau membunuh
orang lain memberikan efek traumatis kepada mereka. Jadi, dalam rangka untuk
membuat mereka melakukannya, butuh 'penyebab atau pembenaran yang suci (sacred)'
yang membuat pembunuhan tampak sebagai hal sepele, dan agama sangat cocok
bertindak sebagai penyebabnya.
Agama adalah semacam anestetis yang bisa membuat orang-orang tidak memiliki
rasa bersalah ketika melakukan pembantaian, atau hal-hal semacamnya. Hal ini
terjadi karena di dalam teks kitab suci itu sendiri, terlepas dari ayat-ayat
yang menyerukan kebaikan, juga terdapat ayat-ayat kekerasan yang memberi sekat
antara kaum beriman dan kaum kafir. Itu bisa dipahami, bahwa teks kitab suci
yang kita baca saat ini tidak terlepas dari kepentingan politis ketika kitab
suci itu dikodifikasi. Bahkan, kodifikasi Qur'an ketika pertama kali dibukukan,
dilakukan di jaman Utsman dengan pendekatan kekuasaan melalui ingatan
orang-orang yang menghafal Qur'an saat itu.
Jadi, mengatakan ISIS bukan islam adalah salah satu bentuk denial
("pengelakan") bahwa dibalik dimensi profetis agama yang mengajarkan
kebaikan, agama juga mengajarkan kekerasan. Itulah sebabnya Blaise Pascal
pernah mengatakan, "Men never do evil so completely and cheerfully as when
they do it from religious conviction." Begitu juga ketika ada yang
mengangkat kasus kekerasan yang terjadi di Palestina. Tindakan seperti ini,
selain mencerminkan sikap apologi dan denial, juga memperlihatkan kecacatan
dalam berlogika: seolah-olah kita tidak peduli dengan kasus kemanusiaan yang
terjadi di belahan bumi lainnya.
Saya mengerti, jika saya memposisikan diri dan melihat dari
sudut pandang seorang muslim, bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
kelompok ekstrimis ini berpotensi menciptakan stereotipe terhadap islam sebagai
agama teroris; padahal, semangat yang dibawa islam pada tataran esensial adalah
agama yang memberi rahmat pada semesta—dan tindakan kelompok ekstrimis ini
tidak menunjukkan semangat tersebut. Saya paham bahwa keimanan kita terhadap
agama, yang kemudian tidak sesuai dengan realitas yang ditunjukkan oleh
kelompok ekstrimis ini, telah menciptakan disonansi kognitif yang membuat kita
cenderung bersikap denial. Namun, bersikap defensif dan mengelak untuk
melakukan refleksi ke dalam, bahwa terdapat ajakan untuk melakukan persekusi,
kekerasan terhadap liyan, dan lain sebagainya; hanya menciptakan semacam ilusi:
agama yang saya anut adalah agama rahmat; agama saya tidak mengajarkan
demikian; kelompok tersebut bukan islam, serba bukan ini dan bukan itu. Namun,
apakah sikap tersebut menjawab persoalan?
Yang menjadi masalah kemudian, teks-teks kitab suci tersebut
tidak bisa direvisi, karena anggapan bahwa teks yang tertulis tersebut sudah
sempurna ketika pertama kali diwahyukan oleh Tuhan. Ini membuat umat beragama
berada di posisi dilema; yang kemudian dijawab melalui ‘tafsir’. Namun, masalah
tidak berhenti sampai disitu saja. Sebagaimana yang kita tahu, bahwa adanya
jarak pemisah antara garis waktu ketika wahyu tersebut turun dengan peradaban
kita saat ini, memungkinkan munculnya pelbagai macam penafsiran. Lalu
penafsiran siapa yang paling benar?
Tentu, akan melelahkan jika kita melihat masalah ini dalam
dimensi hitam-putih; karena perkara benar-salah tidak sesimpel yang dibayangkan,
terlebih jika telah memasuki wilayah yang transendental. Jadi saya pikir, daripada
bersikap denial, akan lebih baik jika kita mengakui dan menerima: bahwa islam,
dibalik semangatnya sebagai agama pembawa rahmat, juga memiliki sisi kelamnya tersendiri—terlepas
dari teori-teori konspirasi mengenai bagaimana kelompok garis keras seperti
ISIS ini muncul. Karena dengan begitu, kita akhirnya memutuskan salah satu lingkaran
kebodohan yang seolah-olah telah menjadi obsesi ketika terjadi kasus kekerasan
yang melibatkan agama.
Di sisi yang lain, sikap sebagian teman-teman ateis yang
memanfaatkan tragedi ini untuk menyerang agama, juga memperlihatkan bahwa pada
tingkatan tertentu, ateisme mirip dengan penganut agama atau ideologi lainnya:
bahwa terdapat jenis-jenis orang yang berdiri di polar-polar yang netral
(moderat) hingga ekstrim (anti-agama). Agama tidak lagi dilihat secara
objektif, namun dianggap sebagai sumber penyebab kekerasan—seolah kekerasan
adalah persoalan satu dimensi. Padahal, sejak ratusan ribu tahun yang lalu, di
awal peradaban Homo sapiens sebelum adanya agama, konflik sudah sering
terjadi. Tidak jarang, berawal dari hal ini, muncullah ide yang cenderung
konyol dengan melarang pengungsi Suriah masuk ke Eropa dengan menggeneralisasi
bahwa pengungsi Suriahlah akar masalah adanya tindak terorisme di Paris
kemarin. Selain memperlihatkan xenopobia, argumen tersebut juga sarat akan
kesesatan dalam berlogika (logical fallacy).
Namun, ini bukan berarti saya mengatakan bahwa agama tidak
boleh dikritik. Tetapi, mengkritik agama tetap harus dilakukan dengan jernih
tanpa dipengaruhi bias-bias yang tidak perlu. Karena seperti yang dikatakan
oleh Jacques Lacan, yang kemudian diteruskan oleh Slavoj Zizek —ketika
membantah pendapat Dostoevsky, melalui karakter Ivan Karamazov yang dituliskan
dalam novelnya yang mengungkapkan “jika Tuhan tidak ada, maka segalanya
diperbolehkan” — dengan pernyataannya: "jika
Tuhan itu eksis, maka segalanya diperbolehkan." Karena akan selalu ada
sekelompok orang yang merasa mewakili Tuhan untuk melakukan tindakannya,
seperti yang dilakukan oleh ISIS kemarin atau kelompok-kelompok garis keras
lainnya.
Terkait dengan hal ini, saya menjadi teringat dengan Soren Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis, yang pernah berkata bahwa orang-orang meminta kebebasan bersuara, sebagai kompensasi atas kebebasan berpikir yang jarang mereka gunakan. Walaupun kalimat itu dituliskannya sudah lebih dari seabad yang lalu dalam bukunya Either/Or, namun pernyataannya masih relevan dengan realitas masyarakat kita saat ini: terlalu banyak orang yang berkomentar mengenai suatu hal, namun tidak didasari pemikiran yang jelas.
***
Tulisan ini juga dimuat di The Geo Times
Terkait dengan hal ini, saya menjadi teringat dengan Soren Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis, yang pernah berkata bahwa orang-orang meminta kebebasan bersuara, sebagai kompensasi atas kebebasan berpikir yang jarang mereka gunakan. Walaupun kalimat itu dituliskannya sudah lebih dari seabad yang lalu dalam bukunya Either/Or, namun pernyataannya masih relevan dengan realitas masyarakat kita saat ini: terlalu banyak orang yang berkomentar mengenai suatu hal, namun tidak didasari pemikiran yang jelas.
***
Tulisan ini juga dimuat di The Geo Times
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Leave a Comment...