Berpikir Bebas Melawan Arus

Kebebasan Berpendapat dan Ujaran Kebencian

Baru-baru ini, polri mengeluarkan surat edaran mengenai hate speech sebagai respon atas maraknya konflik horizontal di masyarakat akibat perkataan-perkataan yang provokatif dan sarat akan kebencian. Walaupun hal ini merupakan gagasan lama, tetapi aturan ini sangat patut untuk didukung dan diapresiasi; bercermin kembali pada kasus Penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik atau Syi'ah Sampang, konflik antara mayoritas-minoritas kerap kali terjadi akibat ungkapan provokatif, seperti kebencian terhadap Syi'ah karena anggapan Syi'ah bukan islamkasus ini pun sebenarnya sudah termasuk sebagai hate crime

Tetapi aturan ini perlu dipertimbangkan lagi, terkait batasan yang dimaksud dari ujaran kebencian tersebut. Mengacu pada surat edaran ini, disebutkan bahwa 'pencemaran nama baik' dan 'perbuatan tidak menyenangkan' bahkan termasuk sebagai ungkapan kebencian; sehingga penafsiran atas aturan ini berpotensi meluas, karena adanya pasal karet di dalamnya. Jika definisi dari ujaran kebencian masih kabur seperti ini, aturan ini bisa menjadi senjata untuk membungkam kritik terhadap penguasa; toh kritik keras dan kecaman bisa saja dianggap sebagai pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan.

Di pelbagai negara demokrasi, aturan mengenai hate speech telah diaplikasikan dalam peraturan perundang-undangannya dengan batasan yang konkrit; walaupun tidak ada definisi yang universal dalam penekanannya, namun batasannya jelas, yaitu ujaran yang menyerang, mengancam, atau menghina orang perorang atau kelompok dengan dasar asal-usul kebangsaan, etnisitas, warna kulit, agama, gender, identitas gender, orientasi seksual, atau disabilitas. Walaupun di dalam surat edaran itu, penekanan mengenai batasan dari ujaran kebencian ini hampir serupa; namun karena adanya aturan yang bersifat lentur di dalamnya, maka aturan ini bisa menjadi sumber masalah baruseperti yang telah saya sebutkan diatas.

Di satu sisi, aturan ini diperlukan sebagai upaya preventif terjadinya konflik horizontal antar masyarakat; namun, jika melihat pelbagai kerancuan di dalamnya, aturan ini justru bisa dipakai oleh penguasa untuk bertindak represif. Sebagai negara yang praktik demokrasinya masih berada pada tahap embrional (belum mapan), Polri tidak bisa memonopoli penafsiran mengenai ujaran kebencian yang telah ditetapkan oleh peraturan yang ada; dengan pertimbangan bahwa belum adanya bukti konkrit dari kemampuan polisi dalam penanganan kasus-kasus hate crimeyang biasanya dipicu oleh hate speech. Dikhawatirkannya, monopoli penafsiran dari Polri hanya akan menciptakan suatu ironi: tersumbatnya hak kebebasan berpendapat di suatu negara demokrasi. Dus, aturan ini masih belum menjelaskan secara eksplisit batasan-batasan yang dimaksud dari ujaran kebencian.  

Secara prinsip, saya tidak menolak adanya aturan mengenai hate speech ini. Hanya saja, menurut hemat saya, aturan ini masih cacat dan perlu diperbaiki lagi. Karena jika seperti ini, akan ada ketimpangan antara tujuan yang ingin dicapai dengan realisasi dari aturan ini. Jangan sampai aturan ini justru menjadi pembenaran bagi aparatur negara untuk bertindak represif terkait hak kebebasan berpendapat.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave a Comment...