Lini masa hari ini dipenuhi dengan cerita tentang teror Jakarta kemarin. Sebagaimana orang-orang pada umumnya, saya tentu saja marah dengan teror ini. Tapi, saya tidak ingin bersikap sok moralis, atau melihat hal ini seperti pada kerangka moralitas dalam struktur Manichaeism: tentang kosmologi dualistik pertentangan antara kebaikan dan kejahatan, dimana keburukan dihukum dan kebaikan diberi hadiah.
Pada kenyataannya, dunia tidak sesederhana itu. Kita mungkin saja mengambil sikap melawan dan mengecam kejahatan seperti itu, namun kemudian, muncul sebuah dilema antara keadilan dan aturan hukum: kita ingin melindungi kemanusiaan, tapi disaat yang sama, kita setuju ketika para teroris itu dihukum mati. Pada kasus ini, keadilan didefinisikan sebagai bayaran yang harus ditanggung oleh mereka yang melanggar norma kemanusiaan, namun dengan cara mengorbankan kemanusiaan sebagai bentuk penegakan hukum.
Pada konteks ini, muncul celah yang besar antara keadilan dan aturan hukum. Aturan hukum melarang hal-hal yang melanggar norma kemanusiaan, tapi pada poin tertentu, ada pembenaran ketika norma kemanusiaan itu sendiri dilanggar atas nama keadilan.
Konsekuensi dari aksi teror kemarin, tentu saja menyebar pada kelompok-kelompok yang kerap kali menunjukkan sikap intoleransi, seperti FPI yang secara terang-terangan menunjukkan dirinya berada “di posisi yang mana”. Sikap sebagian dari kita kemudian kepada kelompok intoleran seperti itu sama halnya dengan ‘konsep keadilan’ tadi, tetapi pada konteks yang berbeda.
Pada banyak hal, saya memang tidak setuju dengan pemikiran-pemikiran mereka. Tetapi, selama itu masih dalam tahap ide, sikap saya jelas: melawan dengan pemikiran; dengan pena dan kertas; ide melawan ide—selama yang mereka serukan bukan ujaran kebencian. Perihal tindakan mereka yang memuakkan, yang seolah-olah memiliki otoritas di negeri ini, saya pikir, itu terkait dengan aparatus negara; dus, demokrasi itu sendiri melindungi kebebasan berpikir, tidak peduli sekonyol apapun pemikiran itu.
Saat menulis ini, saya teringat dengan salah satu adegan di film The Dark Knight, ketika Joker melakukan eksperimen sosial dengan menanam bom di dua kapal berbeda yang dipenuhi oleh penumpang, dan setiap kapal diberikan detonator bom yang ada di kapal yang lain, lalu memberikan instruksi: jika tidak ada salah satu dari mereka yang menekan detonator tersebut, maka Joker akan meledakkan keduanya.
Eksperiman sosial ini memberikan makna yang jelas: moralitas manusia tidak absolut, dan dipengaruhi oleh keadaan tertentu. Manusia menciptakan suatu ‘aturan’, tetapi ketika itu terkait dengan kepentingan mereka—baik itu perihal hasrat atau yang lainnya—maka bisa saja seseorang memilih meninggalkan aturan itu. Hal ini, saya kira, yang mendasari sikap sebagian dari kita kepada kelompok-kelompok intoleran tersebut.
Menariknya, justru model pemikiran seperti inilah yang dipraktikkan oleh fundamentalis. Sartre pernah menuliskan bahwa “orang-orang yang menyerah pada kenikmatan kebencian melakukannya karena mereka tidak dapat mematuhi kelemahan mereka sendiri. Kelemahan dan ketidaksempurnaan adalah kondisi manusia. Tapi kelemahan dan ketidaksempurnaan memberi kita rasa tidak puas, bahkan mungkin muak dengan diri kita sendiri. Kebencian, bagaimanapun, dapat membuat kita merasa kuat. Ketika kita memilih untuk membenci, kita menemukan, bahwa dengan membenci, kita mengatasi kekecewaan di dalam diri kita sendiri. Kita memilih untuk membenci karena kita ingin merasakan getaran kekuasaan yang menggembirakan bukan kelemahan, realitas ideal bukan realitas yang tidak sempurna."
Itulah sebabnya, ada konflik nilai yang dilematis dalam praktiknya: baik itu antara keadilan dan aturan hukum, dan sebagainya—yang sebenarnya berawal dari rasa benci dan marah terhadap tindakan-tindakan tersebut. Perbedaan antara kita dan kelompok intoleran ini adalah, bahwa rasa marah itu ditujukan pada kelompok-kelompok tersebut; sedangkan mereka menujukannya pada realita, lalu menawarkan solusi yang didasari ideologi tertentu.
Pada titik tertentu, saya melihat bahwa Joker memiliki poin disitu: bahwa aturan sosial dan etik, tidak lebih dari hasil imajinasi manusia yang dipaksakan pada realitas. Ketika itu kemudian bertentangan dengan ‘self-interest’ kita—ataupun terkait kepentingan atau hasrat kolektif suatu masyarakat—maka bisa jadi justru kita sendirilah yang melanggar aturan itu. Seperti misalnya, sudah bukan lagi hal yang asing ketika terdengar suara-suara yang menginginkan hukuman mati kepada pelaku koruptor.
Well, saya tidak sedang ingin menjadi orang yang sok moralis. Karena pada dasarnya, hal ini menyisakan sebuah pertanyaan untuk direnungkan: apakah dengan mematuhi moralitas standar, mungkinkah kita bisa melawan suatu pemikiran dan tindakan yang sulit untuk dimaafkan dengan adil?
Pada kenyataannya, dunia tidak sesederhana itu. Kita mungkin saja mengambil sikap melawan dan mengecam kejahatan seperti itu, namun kemudian, muncul sebuah dilema antara keadilan dan aturan hukum: kita ingin melindungi kemanusiaan, tapi disaat yang sama, kita setuju ketika para teroris itu dihukum mati. Pada kasus ini, keadilan didefinisikan sebagai bayaran yang harus ditanggung oleh mereka yang melanggar norma kemanusiaan, namun dengan cara mengorbankan kemanusiaan sebagai bentuk penegakan hukum.
Pada konteks ini, muncul celah yang besar antara keadilan dan aturan hukum. Aturan hukum melarang hal-hal yang melanggar norma kemanusiaan, tapi pada poin tertentu, ada pembenaran ketika norma kemanusiaan itu sendiri dilanggar atas nama keadilan.
Konsekuensi dari aksi teror kemarin, tentu saja menyebar pada kelompok-kelompok yang kerap kali menunjukkan sikap intoleransi, seperti FPI yang secara terang-terangan menunjukkan dirinya berada “di posisi yang mana”. Sikap sebagian dari kita kemudian kepada kelompok intoleran seperti itu sama halnya dengan ‘konsep keadilan’ tadi, tetapi pada konteks yang berbeda.
Pada banyak hal, saya memang tidak setuju dengan pemikiran-pemikiran mereka. Tetapi, selama itu masih dalam tahap ide, sikap saya jelas: melawan dengan pemikiran; dengan pena dan kertas; ide melawan ide—selama yang mereka serukan bukan ujaran kebencian. Perihal tindakan mereka yang memuakkan, yang seolah-olah memiliki otoritas di negeri ini, saya pikir, itu terkait dengan aparatus negara; dus, demokrasi itu sendiri melindungi kebebasan berpikir, tidak peduli sekonyol apapun pemikiran itu.
Saat menulis ini, saya teringat dengan salah satu adegan di film The Dark Knight, ketika Joker melakukan eksperimen sosial dengan menanam bom di dua kapal berbeda yang dipenuhi oleh penumpang, dan setiap kapal diberikan detonator bom yang ada di kapal yang lain, lalu memberikan instruksi: jika tidak ada salah satu dari mereka yang menekan detonator tersebut, maka Joker akan meledakkan keduanya.
Eksperiman sosial ini memberikan makna yang jelas: moralitas manusia tidak absolut, dan dipengaruhi oleh keadaan tertentu. Manusia menciptakan suatu ‘aturan’, tetapi ketika itu terkait dengan kepentingan mereka—baik itu perihal hasrat atau yang lainnya—maka bisa saja seseorang memilih meninggalkan aturan itu. Hal ini, saya kira, yang mendasari sikap sebagian dari kita kepada kelompok-kelompok intoleran tersebut.
Menariknya, justru model pemikiran seperti inilah yang dipraktikkan oleh fundamentalis. Sartre pernah menuliskan bahwa “orang-orang yang menyerah pada kenikmatan kebencian melakukannya karena mereka tidak dapat mematuhi kelemahan mereka sendiri. Kelemahan dan ketidaksempurnaan adalah kondisi manusia. Tapi kelemahan dan ketidaksempurnaan memberi kita rasa tidak puas, bahkan mungkin muak dengan diri kita sendiri. Kebencian, bagaimanapun, dapat membuat kita merasa kuat. Ketika kita memilih untuk membenci, kita menemukan, bahwa dengan membenci, kita mengatasi kekecewaan di dalam diri kita sendiri. Kita memilih untuk membenci karena kita ingin merasakan getaran kekuasaan yang menggembirakan bukan kelemahan, realitas ideal bukan realitas yang tidak sempurna."
Itulah sebabnya, ada konflik nilai yang dilematis dalam praktiknya: baik itu antara keadilan dan aturan hukum, dan sebagainya—yang sebenarnya berawal dari rasa benci dan marah terhadap tindakan-tindakan tersebut. Perbedaan antara kita dan kelompok intoleran ini adalah, bahwa rasa marah itu ditujukan pada kelompok-kelompok tersebut; sedangkan mereka menujukannya pada realita, lalu menawarkan solusi yang didasari ideologi tertentu.
Pada titik tertentu, saya melihat bahwa Joker memiliki poin disitu: bahwa aturan sosial dan etik, tidak lebih dari hasil imajinasi manusia yang dipaksakan pada realitas. Ketika itu kemudian bertentangan dengan ‘self-interest’ kita—ataupun terkait kepentingan atau hasrat kolektif suatu masyarakat—maka bisa jadi justru kita sendirilah yang melanggar aturan itu. Seperti misalnya, sudah bukan lagi hal yang asing ketika terdengar suara-suara yang menginginkan hukuman mati kepada pelaku koruptor.
Well, saya tidak sedang ingin menjadi orang yang sok moralis. Karena pada dasarnya, hal ini menyisakan sebuah pertanyaan untuk direnungkan: apakah dengan mematuhi moralitas standar, mungkinkah kita bisa melawan suatu pemikiran dan tindakan yang sulit untuk dimaafkan dengan adil?