Berpikir Bebas Melawan Arus

LOSING MY RELIGION: Melihat Atheisme/Agnostisisme dari Sudut Pandang Berbeda

Saya terlahir dan dibesarkan di keluarga muslim; dan sebagaimana orang-orang pada umumnya, saya juga mewarisi agama dari kedua orang tua saya, sehingga saya menganut kepercayaan ini. Sejak kecil, saya sudah diajari tentang ajaran-ajaran islam secara umum: seperti mengaji, shalat, puasa, dan sebagainya; sehingga saya sempat tumbuh sebagai orang yang “patuh” terhadap agama.

Namun, walaupun saya pernah tumbuh sebagai orang yang patuh, saya tidak pernah setuju dengan salah satu doktrin keagamaan yang sering saya dengarkan melalui ceramah-ceramah, bahwa islam satu-satunya ajaran yang benar; satu-satunya agama yang akan menyelamatkan manusia dari neraka; sehingga seberapa banyak pun kebaikan yang dilakukan, jika kamu adalah non-muslim, maka kamu tidak akan selamat. Doktrin ini adalah doktrin yang saya anggap “tidak masuk akal” bahkan sampai saat ini.

Hal ini terus berlangsung, hingga saya mulai berada pada titik balik ketika saya menginjak kelas 2 SMA. Saya merenungkan kembali kepercayaan saya: bagaimana saya menganut agama warisan, bagaimana sebagian tokoh agama mengajarkan agama dengan cara menjual ketakutan, dan sebagainya. Pada tahap ini, saya merekonstruksi kembali doktrin yang melekat di dalam kepala saya—melakukan pemaknaan ulang terhadap doktrin surga-neraka, agama, dsb. Selama di tahap rekonstruksi tersebut, saya bahkan sempat menjadi seorang panteisme.[1] Tidak mudah melakukan perenungan secara murni tanpa dipengaruhi bias-bias keyakinan yang pernah melekat dulunya. Bagi saya, tahap inilah proses “penghancuran diri” untuk mendapatkan jawaban-jawaban atas perenungan saya.

Saat di masa perenungan ini, saya mulai mengerti, bahwa doktrin yang dulunya pernah saya pertanyakan, hanyalah doktrin yang muncul berdasarkan pemahaman yang sempit terhadap kitab suci. Sering saya mendengarkan bahwa untuk memahami islam secara utuh, cukup kembali ke Al-Qur'an dan Hadits. Sekilas, pemahaman ini tampak benar; mengingat, dua hal tersebut adalah bagian dari "pondasi" yang membentuk islam saat ini. Namun kenyataannya, kitab suci itu berbicara melalui penafsir—dan disitulah masalahnya. Well, Siapa yang bisa menentukan penafsiran yang mana yang benar?

Setelahnya, saya akhirnya memilih untuk meninggalkan agama sebagai simbol identitas (institusi keagamaan) dan mencoba memahami kembali makna esensial dalam ritus-ritus keagamaan. Di awal masa transisi tersebut, saya mengalami krisis eksistensial—walaupun sebenarnya hal ini adalah hal yang wajar, karena manusia memang memiliki hasrat akan suatu konsistensi dan stabilitas terhadap sesuatu hal. Saya mengalami kekosongan ini, karena walaupun saya telah merekonstruksi pemahaman saya, saya masih memiliki keraguan: bagaimana jika pemahaman saya salah?

Namun, hal ini hanyalah masalah waktu. Seiring pemahaman saya berkembang, disonansi kognitif yang saya alami juga menghilang perlahan-lahan. Saya sekarang melihat agama dalam kerangka yang berbeda, yaitu sebagai produk budaya; dan tentu ada dasar saintifik yang kuat mengenai hal ini. Walaupun secara pribadi, saya lebih suka dengan ajaran Buddhisme yang non-theistik—walaupun tidak tepat jika mengklasifikasikan Buddhisme sebagai ajaran agama—tetapi, saya lebih memilih untuk tidak berada di label agama manapun karena beberapa alasan.

Pertama, terlepas dari keyakinan seseorang dalam memandang agama (samawi); namun berdasarkan catatan sejarah, sejak agama masih berada pada tahap embrional; agama berkembang dengan melalui jalan penaklukan, peperangan dan perluasan wilayah—bukan karena kebenarannya yang universal—sehingga bukan hal yang mengherankan jika agama memberi sekat-sekat pada manusia; walaupun di sisi lain selalu diklaim bahwa agama memiliki kebenaran yang universal.

Terlebih, jarak jaman antara manusia sekarang dan nabi yang terlalu jauh, maka sangatlah sulit mendapatkan pemahaman keagamaan yang murni sesuai ajaran nabi. Saya percaya bahwa hukum alam berlaku pada segala hal, tidak terkecuali terhadap agama. Agama sebagai bagian dari produk budaya juga mengalami evolusi. Evolusi agama terlihat dari makin birokratiknya sistem pelembagaan di dalam agama, yang membuat agama saat ini lebih terlihat seperti organisasi politik daripada sistem keyakinan.

Walaupun begitu, saya menghormati agama sebagai warisan kebudayaan, dan meyakini bahwa agama-agama tersebut adalah benar pada konteksnya masing-masing. Perenungan saya sejauh ini, telah membawa saya menjadi seorang agnostik—tidak mengatakan Tuhan tidak ada, namun skeptis tentang eksistensi Tuhan. Saya tidak lagi peduli mengenai eksistensi Tuhan, karena saya merasa yang terpenting bukanlah Tuhan ada atau tidak ada, tetapi apakah manusia bisa baik dengan atau tanpa Tuhan. 



[1] Panteisme adalah konsep ketuhanan yang memandang Tuhan sebagai entitas yang non-antropomorfis. Panteisme melihat alam semesta identik dengan “entitas Tuhan”; sehingga alam semesta dianggap sebagai bagian dari (manifestasi) Tuhan.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave a Comment...