Berpikir Bebas Melawan Arus

Realitas Simbolis


Ketika manusia terlahir, maka saat itu juga manusia mulai menjadi “retak”. Manusia sebagai makhluk yang belum bisa independen saat pertama kali terlahir, akan dijejalkan konsepsi-konsepsi tentang dunia—agar lebih mudah memahami dunia tempatnya hidup.

Konsep-konsep yang disalurkan melalui bahasa, hanyalah “simbol” pemodelan tentang realitas yang ditempati saat ini; dan simbol tidak pernah bisa mewakili kenyataan yang sebagaimana adanya. Karena realitas yang manusia tempati adalah bagian dari dualisme; antara subjek dan objek.

Subjek mengidentifikasi objek dengan indra yang dimilikinya, namun pengetahuan yang didapatkan tentang objek tersebut hanya sebatas persepsinya—bukan objek yang sebagaimana adanya—karena persepsi manusia dipengaruhi oleh pelbagai macam variabel; dan variabel-variabel ini berpotensi mengaburkan pandangan kita tentang objek tersebut. Mengutip Nietzche: bahwa tidak ada fakta, yang ada hanyalah interpretasi. Dunia yang kita lihat, hanyalah hasil interpretasi kita. Bahkan satu objek yang sama yang dilihat oleh banyak orang, akan menghasilkan pelbagai macam pandangan; termasuk dalam melihat dunia. 

Namun, jika terdapat pelbagai macam pandangan tentang dunia, lalu yang manakah dunia yang sebenarnya? Sejak awal, manusia bahkan tidak pernah tahu bagaimana dunia yang sebenarnya. Manusia hanya memodelkan dunia melalui sains; tetapi sains tidak mewakili dunia itu sendiri, itulah mengapa sains selalu bisa difalsifikasi. 

Lalu bagaimana manusia melihat dirinya sendiri? Manusia, seperti yang kita tahu, selalu mengidentifikasi dirinya dengan berbagai macam simbol. Agama, pekerjaan, hobi, dan lain sebagainya, adalah simbol yang menjadi identitas diri untuk mewakili dirinya. Manusia menciptakan ilusi untuk mengidentifikasi dirinya sendiri, sehingga manusia tidak lagi mengenal dirinya secara utuh. 

Karena hal ini, banyak nasehat-nasehat untuk mengenali diri sendiri, menemukan kesejatian diri; bahwa diri saya adalah seperti ini dan seperti itu. Tapi pertanyaannya, mungkinkah manusia menemukan kesejatian dirinya? Saya sendiri tidak tahu jawabannya secara pasti; karena bisa saja apa yang kita sebut “kesejatian diri”, tidak lebih dari ilusi yang lain.

Realitas yang kita alami saat ini adalah realitas simbolis, dimana kita memahami segala sesuatunya dengan simbol. Konsep kesejatian diri, bisa jadi tidak lebih dari simbol yang lain. Bagaimana kita tahu secara pasti bahwa kita telah menemukan “diri yang sejati”? Bagaimana jika “diri sejati” yang kita temukan hanyalah ilusi yang lain? Bagaimana jika manusia sejak awal hanyalah produk evolusi dan tidak ada sesuatu yang istimewa dari Homo sapiens? Tak ada jawaban pasti, karena simbol hanyalah pemodelan tentang realitas; bukan realitas itu sendiri. 

Konsekuensi dari realitas simbolis ini adalah, kita akan selalu berada dalam sekat-sekat. Agama sebagai simbol pemujaan terhadap tuhan, bisa saja memberi sekat antara penganut agama lainnya. Bahkan hobi, objek ketertarikan, dan lain sebagainya; bisa menjadi sekat antara orang-orang—bagi mereka yang memuja simbol.

Tetapi, simbol-simbol ini bisa menjadi cermin untuk manusia, bahwa manusia tidaklah statis. Manusia hanya bisa melihat jejak-jejak kebenaran—bukan kebenaran yang sebagaimana adanya—sehingga manusia harus terus bergerak dinamis mengikuti jejak-jejak tersebut. Ketika seseorang tertutup dengan kemungkinan lainnya dan berhenti di satu titik, maka saat itu juga dia menjadi hewan kaku yang berdiri di atas sebuah jejak yang ia kira adalah sebuah titik pencapaian menemukan dirinya yang sejati. 

Manusia sejak awal adalah makhluk retak yang tidak mampu mengenali diri dan dunianya secara utuh di realitas simbolis. Manusia akan selalu berada dalam proses, bukan tujuan. Manusia yang berhenti di satu titik, akan “terseleksi oleh alam”, dan manusia yang terus berproses akan berevolusi.[1]


[1] Konsep evolusi pada konteks ini tidak bermakna harfiah; melainkan konsep evolusi pada konteks filosofis.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave a Comment...