Berpikir Bebas Melawan Arus

Paradoks

Indonesia adalah tempat yang penuh cerita. Warna kelam hingga warna cerah terkombinasi menjadi satu, membentuk coretan-coretan sejarah di Indonesia sampai saat ini. Hingar-bingar dan suara bising penduduk bagaikan instrumen yang mengiringi perjalanan negeri ini. Suara merdu terdistorsi oleh suara sumbang yang memenuhi tiap sudut negeri ini. Jika kau berada dalam keheningan, kau bisa saja mendengar teriakan yang menjelma menjadi angka-angka abstrak.

Di suatu negeri yang mengaku religius, agama justru menjadi pemicu sebagian besar kasus kekerasan sejak era reformasi hingga saat ini. Khotbah para penjual agama yang mengklaim agamanya adalah agama yang paripurna, justru menciptakan paradoks pada tindakan mereka. Di satu sisi, mereka merasa superior sebagai mayoritas; di sisi yang lain, mereka juga merasa inferior ketika para minoritas mencoba membangun rumah ibadah.

Virus ini semakin menguat ketika ajaran-ajaran itu disajikan di bangku sekolah melalui metode doktrinal. Bagi mereka, kebebasan berpikir adalah sebuah dosa. Kesuksesan ajaran ini disampaikan, ekuivalen dengan semakin dalamnya massa mereka terjebak di dalam lubang kebodohan. Padahal yang mereka khotbahkan tidak lebih dari "kulit membusuk" yang dihidangkan di meja makan penganutnya.

Tidak.. Saya tidak sedang menghakimi ajaran mereka. Karena ada perbedaan mendasar antara mereka yang menikmati daging buah segar dengan mereka yang hanya memakan kulit luarnya saja. Bagi mereka, sang pemuja simbol, sekedar menahan lapar berarti telah menjalankan perintah Tuhan. Lalu dengan perasaan tidak aman, mereka melakukan restriksi terhadap godaan dari luar dengan cara yang buruk; tanpa memahami bahwa makna sesungguhnya dari perintah-Nya adalah melawan hasrat diri agar tidak lagi melakukan perbuatan buruk. Ini menciptakan paradoks lain, yang menunjukkan bahwa ritual yang hampa makna telah menjadi suatu rutinitas bagi sebagian orang.

Apakah sesungguhnya agama paripurna itu, sehingga penganutnya merasa berhak melabeli orang lain? Mereka bersabda, "bahwa agama yang sempurna adalah agama yang mengoreksi (dan menyempurnakan) agama-agama sebelumnya." Oh sungguh, sabda tersebut sarat akan suatu pelajaran yang berharga. Suatu saat saya akan mengajarkan hal ini pada anakku dengan memberinya suatu nasehat: "Jangan cepat menyerah. Bahkan Tuhan pun belajar dari pengalaman, nak. Tuhan juga perlu mengalami trial and error sebelum akhirnya berhasil menurunkan agama yang paripurna."

Banyak massa yang berteriak dengan lantang, mencoba menautkan agama dan politik; memformalisasikan syari'at dengan menjual ayat kitab suci, sambil menutup mata dan buta terhadap sejarah. Sesungguhnya, impian itu memiliki sejarah kelam. Sungguh sebuah kebodohan, ketika memaksakan utopia di zaman sekarang; karena kitab suci yang berasal dari masa lampau itu hanya bisa terdiam membisu dan membuat pembacanya menginterpretasikan sendiri ambiguitas di dalamnya.

Seorang bijak pernah berkata, "berangkatlah dengan meragukan pemahaman diri sendiri, merasa bahwa mungkin saja diri ini salah." Karena dengan begitu, semangat mencari kebenaran akan tersulut di dalam diri, tanpa perlu melabeli orang lain sebagai sesat; karena kita sama-sama tahu bahwa kita tidak tahu, seperti petuah usang Socrates.

Di sudut-sudut hening, disitulah manusia menemukan "Tuhan". Bukan lagi Tuhan yang diciptakan oleh imaji manusia ataupun Tuhan yang diperdagangkan; melainkan Tuhan yang membawa diri hanyut ke dalam gelombang, menembus batasan ruang dan waktu—di dalam arus perenungan yang mendalam.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave a Comment...