Berpikir Bebas Melawan Arus

Memahami Kekerasan Agama di Indonesia

Kasus kekerasan agama di Indonesia sebenarnya adalah permasalahan multi-dimensional. Hal ini cukup kompleks, sehingga perlu digaris-bawahi, bahwa masalah seperti ini terjadi bukan hanya didasari atas sentimen keagamaan semata; walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa agama—yang selalu berseteru di Indonesia—mengandung teks kitab suci yang juga sarat akan kekerasan.

Walaupun Indonesia menjamin kebebasan beragama, akan tetapi, hukum positif di Indonesia masih memiliki keracuan terkait jaminan pemerintah terhadap toleransi beragama. Misalnya, pasal karet seperti pasal penistaan agama, sering dijadikan justifikasi untuk melakukan tindak diskriminasi atau bahkan kekerasan kepada orang-orang yang dianggap melecehkan agama. Padahal, definisi "penistaan (pelecehan)" pada pasal tersebut tidak jelas: pelecehan menurut siapa? Apa indikator yang bisa dijadikan standar untuk disebut melecehkan agama? Bahkan pareidolia pun bisa saja dianggap melecehkan agama.

Ada juga Peraturan Dua Menteri soal pendirian rumah ibadah yang mengharuskan adanya persetujuan masyarakat setempat, paling sedikit 60 orang. Aturan ini adalah aturan yang diskriminatif, khususnya kepada pemeluk agama minoritas di suatu wilayah—mengingat aturan ini muncul karena perasaan insecure mayoritas karena mengira adanya kristenisasi. Karena aturan ini, tak jarang masalah izin dijadikan pembenaran untuk menghancurkan rumah ibadah seperti yang terjadi di Aceh Singkil baru-baru ini. Tentu, kita tidak bisa menutup mata bahwa sejak pasca reformasi, pembakaran gereja telah mencapai 1.000 kasus hingga hari ini.

Dan menurut saya, yang paling rancu dari sekian aturan itu adalah keputusan anti-Ahmadiyah yang dikeluarkan pada tahun 2008. Pemerintah seolah menunjukkan ketidak-konsistenannya: di sisi lain menjamin kebebasan beragama, namun disaat yang bersamaan juga melarang keyakinan Ahmadiyah karena dianggap menyimpang dari ajaran mayoritas. Akibat dari pemberlakuan aturan ini, kekerasan terhadap Ahmadiyah juga semakin meningkat.

Belum lagi dengan melihat kondisi sosial di Indonesia. Maraknya ketimpangan sosial yang terjadi, bisa saja mendorong seseorang untuk memiliki hasrat/idealisme terhadap perubahan. Pemerintah yang dianggap gagal memberikan keadilan bagi rakyatnya serta maraknya praktik korupsi, membuat 'orang-orang idealis' ini mencari jalan lain—dan "konsumen" yang paling rentan pada kasus ini, salah satunya adalah mahasiswa yang disebut-sebut sebagai agen perubahan. 

Kemudian muncullah infiltrasi paham garis-keras ini di kampus-kampus eksakta, 'menjual kecap' pada mahasiswa bahwa "ideologi yang mereka doktrinkan" memberi jawaban pada hasrat/idealisme mereka.[1] Kepentingan politis yang dibungkus agama, dengan menciptakan sistem pemerintahan khilafah yang utopis; melumpuhkan sikap kritis 'mahasiswa eksak' ini, karena anggapan jika melawan arus paham tersebut, berarti sama halnya melawan agama. 'Rasa takut' jika melawan agama telah melumpuhkan sikap kritis mereka, padahal mereka diperbudak dengan alasan politis.

Rasa takut itu muncul tidak lepas dari pendidikan agama yang diajarkan dengan metode doktrinal di sistem pendidikan kita, hingga mengakar kuat di pikiran mereka. Mungkin kondisi ini yang menyebabkan bias konfirmasi pada mereka. Walaupun mereka belajar di kampus eksakta, namun mereka hanya akan cenderung menerima 'suatu ide' yang sesuai dengan doktrin yang pernah diajarkan dan menolak jika ide tersebut ternyata bertentangan dengan pemahaman mereka yang telah berakar kuat (close minded).

Hal ini makin kontras jika dilakukan perbandingan dengan negara-negara lain, dengan kondisi sosial yang hampir serupa dengan Indonesia, seperti Pakistan. Paham ekstrimisme justru tumbuh subur di kalangan terpelajar, sama seperti yang terjadi di Indonesia. Di negeri mayoritas islam seperti Indonesia dan Pakistan yang memiliki Indeks Pembangunan Manusia yang rendah, menjadi lahan subur bagi kelompok ekstrimis menanamkan ideologinya. Berbeda dengan Iran yang mayoritas Islam, tetapi memiliki Indeks Pembangunan Manusia yang tinggi.  

Tentu naif jika mengatakan kasus kekerasan agama di Indonesia murni disebabkan oleh ajaran agama. Tetapi, alasan mengapa agama seolah menjadi 'wajah utama' kasus kekerasan di Indonesia, karena agama bisa digunakan untuk melakukan kontrol massa. Maksudnya, agama bisa digunakan untuk menciptakan bidak yang bisa dikendalikan oleh "aktor intelektual" untuk mencapai kepentingan tertentu. 

Tentu, kekerasan atas nama agama tidak akan pernah selesai jika pemerintah tidak bercermin ke dalam sistemnya: ketimpangan sosio-ekonomi, hukum yang rancu, sistem pendidikan yang buruk dan posisi pemerintah yang tidak jelas adalah variabel utama yang telah membentuk tombak kekerasan agama di Indonesia selama bertahun-tahun.


[1] Data dan metodologi penelitian yang lebih jelas bisa dibaca di buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, yang diterbitkan oleh Wahid Institute pada tahun 2009.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave a Comment...