Berpikir Bebas Melawan Arus

Jokowi dan Asap Kapital

Bencana asap di Indonesia sebenarnya bukan terjadi baru-baru ini saja. Kurang lebih sudah 18 tahun (1997-2015) masalah asap ini terjadi; tetapi baru kali ini masalah asap menjadi perhatian publik, ketika sebelumnya masalah asap ini lebih sering disuarakan oleh akitivis-aktivis lingkungan atau warga lokal yang terkena dampak langsung dari kejadian ini. Bencana asap ini adalah masalah serius, bahkan NASA telah mempublikasikan foto satelit yang menampilkan kabut asap menyelimuti wilayah Pulau Sumatera, Kalimantan serta sebagian wilayah Singapura dan Malaysia.

Tidak sedikit yang memanfaatkan masalah ini untuk melancarkan kritik terhadap pemerintahan Pak Presiden Jokowi; entah apakah motif dari kritiknya memang sebagai bentuk kepedulian atau hanya sekedar untuk menjatuhkan citra Jokowi: melihat pelbagai macam suara (dari kritik hingga nyinyiran/hujatan) oleh sebagian orang, lebih terfokus kepada Jokowi tetapi abai terhadap pemda dan perusahaan yang terlibat. Tetapi, terlepas dari apapun motifnya (tulus atau tidak), kritikan langsung terhadap Pak Presiden Jokowi adalah hal yang krusial; karena kebakaran hutan ini selalu terulang karena kurangnya pengawasan dan kesengajaan oleh korporasi tertentu, tetapi belum ada tindakan serius dari pemerintah untuk mengadili oknum-oknum tersebut.

Masalah kebakaran ("pembakaran") hutan ini menjadi sulit terselesaikan, karena kapital adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam pengelolaan hutan—yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan wilayah hutan terbesar di dunia, sekaligus negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa kekacauan pengelolaan hutan adalah simptom impotensi dari kekuasaan politik di negeri ini.

Perlu digaris bawahi, bahwa orang-orang terkaya di Indonesia sebagian besar menuai kekayaannya dari hutan: mulai dari Djarum Group, Sinar Mas, Royal Golden Eagle, Wilmar International Group, dsb. Mereka adalah konglomerat-konglomerat penguasa hutan, yang sebagiannya diketahui terlibat praktik-praktik kotor seperti pembakaran hutan [1]. Tentu hal ini terjadi karena mereka melihat peluang untuk menciptakan komoditi, dengan modal sekecil-kecilnya untuk keuntungan sebesar-besarnya—dan membakar hutan adalah suatu cara yang lebih hemat biaya untuk membuka lahan; karena pembukaan lahan dengan alat-alat mekanis, membutuhkan biaya yang dua kali lipat lebih mahal daripada melakukan pembakaran hutan.[2]

Belum lagi jika seandainya pemilik modal (kapital) memanfaatkan oknum-oknum dari pemda setempat untuk "melindungi" korporasi tersebut—bukan rahasia lagi, bahwa hal seperti ini 'mungkin saja' terjadi di Indonesia. Pada akhirnya, upaya untuk menindak tegas para pelaku pembakaran hutan, hanya menjadi sekedar wacana; sambil melihat pembakaran hutan telah menjadi ritual yang berulang-ulang tiap tahunnya. Toh, setiap konglomerat, baik penguasa hutan atau penguasa lainnya, selalu punya andil keuangan dalam pemilihan penguasaagar bisa dikendalikan untuk membuat regulasi demi kepentingan mereka. 

Aliansi antara pemilik modal, birokrasi pemerintah, dan aparatus represif negara (polisi, tentara), menentukan otoritas negara terkait kebijakan publik. Hal ini telah membuat negara menjadi representasi dari pemilik modal, dan pemerintah sekadar panitia yg menjalankan akumulasi kapital. Negara takluk di bawah korporasi, karena kapital adalah penyumbang dana terbesar untuk kelompok penguasa.

Sesuatu seperti ini, tidak akan rampung jika pemerintah tidak memiliki nyali untuk berhadapan dengan para konglomerat (korporasi besar) penguasa hutan; bahkan jika presidennya adalah seorang insinyur kehutanan. Meminjam istilah Djatmiko Tanuwidjojo, "korporasi besar tak bakal bisa ditaklukkan oleh kekuasaan politik yang bersandar pada dukungan suara rakyat yang sekadar penerima kartu indonesia sehat atau kartu indonesia pintar."     

Untuk saat ini, saya pribadi pun skeptis terhadap pemerintah terkait masalah pengelolaan hutan. Karena masalah ini adalah masalah yang kompleks: bukan hanya masalah ekologis, melainkan juga masalah sosial, ekonomi dan politik; dengan kapital sebagai pemegang kekuasaan. Melawan arus politik di negeri ini, sama halnya melawan kekuatan besar kapitalisme yang telah mengakar kuat di tatanan negara yang korup. Terbukti bahwa sampai saat ini, baru segelintir perusahaan kecil saja yang dibekukan, namun korporasi besar yang terlibat masih belum tersentuh oleh hukum. 

Pembakaran hutan ini tidak hanya berdampak kepada masyarakat setempat, hewan-hewan lainnya juga berpotensi kehilangan habitatnya; bahkan ada puluhan bayi orang utan yang terkena penyakit ISPA akibat asap pembakaran hutan ini. Untuk lebih memahami masalah terkait kebakaran hutan di Indonesia, dapat dilihat film dokumenter Years of Living Dangerously.


Saya menjadi teringat dengan ungkapan Nietzche, bahwa "Tuhan telah Mati". Saya rasa, Nietzche salah. Tuhan tidak pernah mati, Dia hanya berubah bentuk menjadi uang; dan kita meyakininya sebagai Tuhan—dan kapital telah memanfaatkan hal ini dengan baik.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave a Comment...