Berpikir Bebas Melawan Arus

Identitas dan Idealisme

Saya pernah membaca sebuah penelitian sosial yang bernama "How Islamic are Islamic Countries?" yang dilakukan oleh Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari dari George Washington University.[1] Penelitian ini mengambil 208 negara sebagai samplingnya untuk mengukur seberapa jauhkah ajaran islam diterapkan dalam kehidupan bernegara oleh masyakat muslimdi negara-negara islam—lalu kemudian dibandingkan dengan negara non-islam.

Yang dimaksud dengan negara islam disini adalah negara yang tergabung di dalam Organization of Islamic Conference (OIC) atau negara yang mengadopsi islam sebagai ajaran agama resminya, islam sebagai agama utama di negara tersebut, negara yang di dalamnya muslim sebagai mayoritas, atau negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara islam.

Indikator yang digunakan untuk mengukur "keislaman" sebuah negara adalah hubungan manusia dengan Tuhan dan perbuatan manusia sesuai dengan prinsip-prinsip tanggung jawabnya; sistem dan kebijakan ekonomi dan keadilan ekonomi-sosial; sistem dan tata kelola hukum; hak-hak manusia; dan juga hubungan internasional negara tersebut (terutama dengan non-Muslim). Indikator ini dikelompokkan berdasarkan analisis tentang sifat dalam ajaran islam itu sendiri.

Hasil dari studi ini menunjukkan, rata-rata negara yang berada di dalam kelompok "negara islam" justru berada di peringkat terendah; yang kemudian mengkonfirmasi bahwa negara-negara islam justru tidak menerapkan nilai-nilai substansial di dalam ajaran islam itu sendiri; dengan Arab Saudi berada di peringkat 131, Sudan berada di peringkat 202, dan Indonesia—sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbanyakberada di peringkat 140. Sebaliknya, negara yang tergabung di dalam kelompok "non-islam", rata-rata berada di peringkat tertinggi; seperti Selandia Baru yang berada di peringkat 1, Luxembourg di peringkat 2, dan Irlandia di peringkat 3.

Studi ini lebih ditekankan pada nilai-nilai islam pada tataran substansif dibandingkan dengan nilai-nilai pada tataran simbolis seperti ritual haji, dll. Jika studi ini ditekankan pada ritual simbolis, mungkin saja Indonesia berada di peringkat teratas, melihat banyaknya masyarakat Indonesia yang melaksanakan ibadah haji tiap tahunnyabahkan ada beberapa orang yang melaksanakan haji hingga berkali-kali. Bukan hal yang mengherankan ketika Muhammad Abduh—seorang pemikir muslim dari mesir—pernah mengatakan 'I went to the West and saw Islam, but no Muslims; I got back to the East and saw Muslims, but not Islam.'

Screenshot dari Eramuslim
Alasan saya membuka tulisan ini dengan sebuah riset yang berkaitan dengan islam; bukan karena saya ingin membahas agama dan ajarannya, melainkan karena sikap sebagian dari kita terhadap identitas—khususnya terhadap agama. Misalnya, pada kasus Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta. Identitas Ahok sebagai keturunan Tionghoa dan non-muslim sering dijadikan pembenaran untuk menjatuhkannya; walau secara konstitusi, jabatan Ahok adalah sah. Bahkan, ada yang berpendapat "jika ada muslim yang memilih Ahok berarti dirinya menentang Allah" atas dasar penafsiran ayat kitab suci secara kaku. 

Identitas Ahok secara simbolis memanglah seorang non-muslim. Namun, kebijakannya pada tataran substansif terkadang beririsan dengan nilai islam, seperti kebijakannya tentang penertiban penjualan dan pemotongan hewan kurban dengan alasan kebersihan, ketertiban dan agar tidak mengganggu kepentingan umum. Bukankah di dalam dimensi profetisnya, islam mengajarkan demikian?

Lalu di sisi lain, seringkali kita mendengar ada sekelompok orang yang menjadikan agama sebagai karpet politik untuk mendapatkan kekuasaan; atau menggunakan agama sebagai alasan untuk membenarkan kekerasan. Dan dengan sikap denial, kita menyebut mereka sebagai oknum yang tidak mewakili ajaran agama yang dianutnya. Mereka yang berada dalam suatu identitas tertentu, ketika tidak membawa semangat idealisme di dalam identitasnya, disebut sebagai oknum. Lalu, apa sebutan bagi mereka yang tidak berada dalam lingkaran identitas tertentu, namun membawa semangat yang sama dengan identitas yang dimaksud?

Jika kita merenungkan hal ini, kita bisa melihat bahwa sebenarnya identitas tidak serta-merta mewakili idealisme di dalamnya. Kita bisa menggeneralisasi hal ini; bukan hanya pada agama, tapi juga pada identitas-identitas lainnya. Saya rasa, identitas simbolis bukan lagi suatu perkara penting. Simbol, seperti yang kita tahu, hanya berfungsi sebagai medium untuk membawa pesan. Pertanyaannya, apakah kita menerima pesannya, atau sebaliknya, mungkinkah selama ini kita sebenarnya tidak lebih dari seorang pemuja simbol kosong yang hampa makna?


[1]Penelitian lengkapnya bisa dibaca dalam format pdf “How Islamic are Islamic Countries?”

 nega-n egara Scheherazade S. Rehman and Hossein Askari from George Washington University. - See more at: http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/12/insight-how-islamic-are-islamic-countries-a-rejoinder.html#sthash.MkExJX90.dpuf
Scheherazade S. Rehman and Hossein Askari from George Washington University. - See more at: http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/12/insight-how-islamic-are-islamic-countries-a-rejoinder.html#sthash.MkExJX90.dpuf
Scheherazade S. Rehman and Hossein Askari from George Washington University. - See more at: http://www.thejakartapost.com/news/2011/11/12/insight-how-islamic-are-islamic-countries-a-rejoinder.html#sthash.MkExJX90.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave a Comment...