Berpikir Bebas Melawan Arus

Basis Saintifik dari "Makna Kehidupan"

Manusia secara natural selalu mencoba memberi makna pada sesuatu hal yang tidak diketahuinya; mulai dari kejadian alam hingga kepada kehidupan itu sendiri. Karena itu, pemikiran tentang makna kehidupan menjadi bagian dari suatu pertanyaan filosofis. Namun, seiring berkembangnya sains, pertanyaan tentang makna kehidupan tidak lagi berada pada basis filsafat saja. Saya percaya, bahwa sains mampu memberikan kunci yang tepat untuk menjawab 'pertanyaan filosofis' ini. Tapi, apakah kehidupan itu sendiri? Apa yang membuat manusia begitu istimewa sehingga kehidupannya dianggap memiliki makna? Apakah kehidupan sendiri memiliki makna objektif? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus menarik garis waktu hingga ke masa lampau.

Sebelum sains berkembang seperti sekarang ini, sudah terdapat pelbagai macam penjelasan mengenai kehidupan. Pemikiran Aristoteles mengenai scala naturae —sebuah skala kompleksitas yang mengelompokkan kehidupan dalam bentuk struktur, sehingga setiap makhluk hidup memiliki tempatnya masing-masing— telah memengaruhi sains barat saat itu; terlebih pemikiran ini sejalan dengan (penafsiran) Kitab Perjanjian Lama yang mengatakan penciptaan makhluk hidup bersifat sempurna dan tidak berubah. Hingga suatu ketika, Darwin memulai revolusi pada bidang sains, dengan pemikirannya yang dikenal sebagai 'teori evolusi'. 

Walaupun Darwin bukan orang pertama yang mengajukan pemikiran tentang konsep evolusi, namun teorinya mengenai evolusi makhluk hidup, dianggap sebagai pemodelan yang relevan dalam menjelaskan keberagaman makhluk hidup yang ada di bumi. Walaupun teori evolusi sudah diterima sebagai fakta ilmiah, namun ada sebagian orang yang masih melakukan miskonsepsi terhadap teori evolusi. Saya tidak akan membahas miskonsepsi itu lebih jauh disini, karena teori evolusi inilah yang akan menjadi pijakan dasar dalam mencari 'makna kehidupan'.

Berkembangnya kehidupan di bumi, berawal dari molekul kompleks "asam amino" yang saling bertabrakan secara acak hingga terbentuknya organisme hidup pertama yang sangat sederhana. Dalam rentang waktu milyaran tahun, organisme ini berevolusi menjadi organisme yang kompleks, yaitu organisme multiseluler. Lalu bagaimana keberagaman makhluk hidup tercipta? Mekanisme dalam teori evolusi Darwin menjelaskan hal tersebut.

Bayangkan populasi dari "spesies X" hidup dalam satu pulau yang sama. Namun, karena suatu hal, terjadi distribusi geografis pada sebagian spesies X pada populasi tersebut, sehingga terbentuk populasi baru di pulau yang berbeda. Karena pulau-pulau ini dipisahkan oleh air, maka dua populasi tersebut saling terisolasi, sehingga mereka tidak bisa berinteraksi satu sama lain. 

Perlu diketahui, bahwa DNA selalu diturunkan dari induk ke keturunannya. Rekombinasi (pencampuran) DNA dari induk tersebut terjadi secara acak—sehingga sifat-sifat yang diturunkan juga terjadi secara acak.

Awalnya, populasi "spesies X" di dua pulau berbeda ini, memiliki kesamaan gen yang identik. Namun, karena rekombinasi yang terjadi secara acak ketika bereproduksi,maka terjadi pergeseran gen antara populasi di pulau A dan pulau B secara perlahan-lahan. Lalu dalam rentang waktu yang lama—hingga jutaan tahun—pergeseran gen antara dua populasi "spesies X" ini menjadi terlalu jauh, sehingga mereka tidak bisa lagi dikelompokkan sebagai satu spesies yang sama. Akibat pergeseran gen ini, akan terlihat perbedaan antara makhluk hidup tersebut; misalnya pada variasi paruh burung Finch. Seleksi alam dan mutasi yang terjadi pada populasi tersebut, juga sangat memengaruhi terjadinya pergeseran gen ini, hingga terciptanya percabangan evolusi dari spesies tersebut. Spesies X ini yang disebut sebagai nenek moyang bersama dua spesies yang telah berevolusi tadi. Untuk memahami mekanisme evolusi dengan lebih sederhana, saya menautkan video dari Kurzgesagt tentang "Bagaimana Evolusi Bekerja". 


Pohon Evolusi
Pohon Percabangan Evolusi
Mekanisme inilah yang terjadi kepada seluruh makhluk hidup yang ada di bumi. Antara manusia dan kera lainnya seperti simpanse dan orang utan, merupakan kerabat dekat hasil percabangan evolusi dari satu nenek moyang yang sama. Bahkan menurut DNA, seluruh makhluk hidup yang ada di bumi merupakan saudara, karena kita berasal dari satu substansi yang sama. Manusia tidak seistimewa yang kita bayangkan, karena manusia pada dasarnya sama dengan hewan lainnya.

Jika manusia dan makhluk hidup lainnya tidak lebih dari mesin biologis produk evolusi, apakah kehidupan memiliki makna? Jika memang ada makna objektif dari kehidupan ini, apakah hewan lainnya juga memiliki makna hidup, karena kita berasal dari satu substansi yang sama? Perbedaan mendasar antara manusia dan hewan lainnya, terletak pada jalur evolusinya; bahwa manusia memiliki pikiran yang jauh lebih berkembang dalam mengidentifikasikan realitas dibandingkan hewan lainnya. Sekarang pertanyannya, apa realitas itu sendiri? Bagaimana kita mendefinisikan realitas, dan apa kaitannya dengan makna hidup? Dalam hal ini, kita perlu melihat darimana kesadaran kita muncul dalam mendefinisikan realitas. 

Sejak evolusi organisme sederhana ke organisme multiseluler, kita memiliki otak untuk mencerna informasi dalam jumlah yang besar. Bagaimana indra kita menggambarkan realitas adalah bagian dari proses kerja otak. Bisa dibilang, kesadaran kita pun sebenarnya adalah proses kerja otak. Namun, apa yang digambarkan oleh indra kita hanyalah pemodelan tentang realitas; bukan realitas independen itu sendiri.

Untuk mensimplifikasi maksud saya, coba lakukan eksperimen pikiran dengan sedikit 'teori relativitas'. Bayangkan dirimu adalah seorang pengamat, dan kau sedang mengamati benda yang diam di bumi. Perspektif kita terhadap benda tersebut, menciptakan model "benda yang diam" di dalam pikiran kita. Tapi coba amati benda tersebut dari luar bumi. Bagi pengamat yang berada di luar bumi, benda tersebut bergerak dengan kecepatan 1.000 mil/jam—karena benda tersebut bergerak bersama rotasi bumi. Benda yang bergerak dengan kecepatan 1.000 mil/jam adalah "pemodelan yang cocok" bagi realitas pengamat yang berada di luar bumi. Sedangkan bagi pengamat yang ada di bumi, "benda yang diam" adalah pemodelan yang cocok untuk realitasnya. Artinya, apa yang kita sebut sebagai realitas pun juga tidak lebih dari proses yang terjadi di dalam otak; di dalam pikiran kita. Jika realitas sendiri tidak lebih dari proses yang terjadi di otak, apakah mungkin ada makna objektif dari kehidupan?

Persepsi kita mengenai realitas, menunjukkan bahwa realitas yang kita alami, sebenarnya hanya pemodelan yang cocok bagi kita untuk diterima. Begitulah para saintis bisa mengetahui bagaimana "Big Bang" terjadi; bagaimana Galileo Galilei merumuskan teori heliosentris, dan sebagainya; yaitu melalui pemodelan. 

Lalu apa kaitannya dengan makna kehidupan? Saya rasa cukup jelas. Apa yang kita sebut sebagai makna kehidupan pun tidak lebih dari pemodelan lainnya yang kita buat di dalam pikiran kita. Saat kita belum mengetahui bagaimana kehidupan bekerja, kita membuat pemodelan yang rumit; bahwa kehidupan memiliki suatu makna. Kita tidak menyukai kehidupan yang 'hampa makna' sebagai konsekuensi logis dari jalur evolusi kita. Karena itu, pikiran kita membuat suatu pemodelan yang disebut sebagai 'makna hidup'. Kita sendirilah yang mendefinisikan apa makna hidup kita; dan makna hidup yang kita buat, tergantung bagaimana perspektif kita—sama halnya dengan kasus pengamat dalam eksperiman pikiran tadi. Agamawan mungkin saja menggantungkan makna hidupnya kepada Tuhan dan saintis bisa saja menggantungkan makna hidupnya kepada kehidupan; tergantung pemodelan seperti apa yang sesuai bagi realitas seseorang.

Sudut pandang ini hampir sama dengan pandangan eksistensialisme, bahwa individu sendirilah yang menentukan makna hidupnya. Mengutip Jean-Paul Sartre, seorang filsuf eksistensialis:
“Life has no meaning a priori… It is up to you to give it a meaning, and value is nothing but the meaning that you choose.”

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave a Comment...