Berpikir Bebas Melawan Arus

Stairway to Hell

Sistem sosial yang kita jalani saat ini adalah sistem pasar, dimana semuanya memiliki harga. Bagi pasar, tidak ada rakyat, tidak ada manusia; karena yang ada hanyalah komoditi dan kertas. Di mata pasar, manusia bahkan tidak lebih dari seorang konsumen. Untuk terus bertahan dan meraup keuntungan besar dari persaingan pasar, tidak jarang para pedagang memilih untuk melacurkan diri. Bukan lagi dengan cara melacurkan tubuh, tetapi dengan cara melacurkan kemanusiaan mereka sendiri.

Bagi pasar, melacurkan diri adalah salah satu bentuk ibadah kepada “Tuhan”. Semakin melacurkan diri, maka semakin dekat diri ini kepada “Tuhan”. Tapi, ketika segalanya diukur dengan harga, siapa Tuhannya? Ini adalah sebuah pertanyaan retoris—karena bagi pasar, uanglah yang menjelma menjadi Tuhan.

Di mata para “wakil-wakil Tuhan” ini, orang-orang seperti Salim Kancil yang melakukan penolakan terhadap “rumah ibadah”—penambangan pasir ilegal—yang merusak lingkungan; adalah bagian dari pembangkang yang halal darahnya. Mereka memberikan pesan yang jelas; bahwa keadilan adalah jembatan menuju neraka. Salim Kancil berjalan menuju nerakanya sendiri, karena menyuarakan keadilan atas tanah di desanya.

Salim Kancil hanyalah salah satu dari sekian orang yang berjalan di jembatan neraka. Nama-nama seperti Munir, Marsinah, dan Jopi adalah orang-orang yang pernah berjalan di jembatan yang sama—dengan akhir yang sama.

Mungkin Henry Kissinger benar ketika mengatakan “power is the ultimate aphrodisiac”. Kekuasaan bagaikan afrodisiak[1] yang mampu membangkitkan hasrat seseorang untuk memburunya—untuk kepentingan tertentu. Para pedagang ini memiliki hasrat yang kuat untuk menguasai tanah di desa Salim Kancil, walaupun harus dengan cara melacurkan diri.

Tindakan seperti ini bukan lagi hal yang asing bagi negeri ini. 50 tahun yang lalu, pernah terjadi genosida terhadap jutaan orang yang dituduh PKI. Mereka yang menjadi korban genosida tidak mendapatkan keadilannya—dibunuh tanpa proses hukum yang jelas. Bahkan doktrin Orba mengenai PKI, masih melekat di kepala sebagian orang hingga sekarang. Ini adalah sejarah kelam yang digoreskan untuk membangun fondasi awal sebuah singgasana kekuasaan; yang hingga kini masih dilakukan dengan model yang berbeda.

Sejak tahun 1965, setelah kejahatan kemanusiaan terjadi; mungkin saja keadilan telah mati di negeri ini. Bahkan sang “smiling general” dengan pongahnya membuat aturan untuk kepentingan dirinya. Hingga dirinya jatuh pun, tidak ada pengadilan dan keadilan bagi korban-korban yang pernah menjadi bagian dari genosidanya.

Mungkin ini adalah suatu ironi, ketika keadilan sendiri menjadi sebuah barang mahal di negara yang berdasarkan “keadilan sosial”; atau mungkinkah keadilan sendiri yang terlalu utopis bagi negeri ini?



[1] Afrodisiak adalah zat yang mampu meningkatkan hasrat seksual seseorang. Pada konteks ini, Afrosidiak hanyalah perumpamaan dari kekuasaan yang memberikan efek serupa; yaitu membangkitkan hasrat dari seseorang.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave a Comment...