Berpikir Bebas Melawan Arus

Jokowi dan Dogma Politik

Di Indonesia, politik adalah pembahasan yang tidak pernah mati. Bahkan, tidak sedikit orang yang tiba-tiba menjadi ahli politik ketika telah membahas politik—terlebih di media sosial. Ini adalah salah satu kemampuan dari masyarakat kita; dari seorang awam yang mampu bermetamorfosis menjadi ahli politik, hanya karena mengikuti tren atau bisa jadi karena variabel lain. Bagi sebagian orang, politik seperti film hitam-putih yang hanya memiliki dua warna. Politik bagaikan panggung bagi para pembenci-pemuja untuk menampilkan ritual menghujat dan membela. 

Pasca revolusi kognitif Homo sapiens, manusia sebenarnya telah dihadapkan pada pelbagai macam dogma: mulai dari dogma agama hingga preferensi politik. Dogma seperti ini selalu menimbulkan bias-bias dalam pemikiran manusia; akibatnya, kita menjadi tidak bisa melihat persoalan dengan benar. Pada konteks preferensi politik di Indonesia (terkait pak Jokowi), orang yang terjebak dalam dogma, cenderung mensimplifikasi persoalan. Permasalahan kompleks di negeri ini pun tereduksi menjadi dua kutub: pro-Jokowi dan kontra-Jokowi.

Bagi yang pro-Jokowi, mereka melihat Jokowi sebagai seorang messiah, bahwa apa yang dilakukan Pak Jokowi selalu benar. Sebaliknya, bagi yang kontra-Jokowi, mereka melihat Pak Jokowi sebagai sosok yang 'selalu salah'. Mereka selalu mencari-cari kesalahan Pak Jokowi, baik yang dilakukannya ataupun yang tidak dilakukannya. Jokowi pun menjadi sosok obsesional bagi sebagian orang; sedikit memelintir ucapan Karl Marx, "Jokowi adalah candu"—bahwa Jokowi telah menjadi candu baru.

Di mata para pecandu, yang terlihat bukan lagi substansi kebijakan politiknya; melainkan hal-hal sepele yang sebenarnya tidak berkaitan dengan kebijakan politik tokoh tersebut—mulai dari cara makan, cara berpakaian, ras, hingga ke ranah yang lebih privat seperti agama. Memang sesuatu yang wajar jika hal remeh-temeh dari seorang tokoh publik terus diperhatikan. Namun, jika hal itu dijadikan pembenaran untuk “menjatuhkan” tokoh publik tersebut, maka mungkin saja ada yang salah dengan nalar kita.

Begitulah sedikit cerminan di republik kita. Masih hangat ketika Pak Jokowi “diserang” hanya karena beliau makan dengan posisi berdiri atau ketika Pak Jokowi disanjung karena perkara jam tangan—sewaktu Setya Novanto menggunakan jam tangan Richard Mille lalu dibandingkan dengan Jokowi yang sederhana. Politik seolah menjadi “agama baru”, dimana tokoh politik menjadi “Tuhannya” dan dua mazhab pembenci-pemuja yang berperan sebagai “kaum beriman dan pembangkang”. Lalu, perubahan seperti apa yang diharapkan dengan pandangan politik seperti ini?

Ketika seorang tokoh politik menduduki jabatan tertentu, maka kebijakan politiknya lah yang mewakili dirinya. Sehingga yang perlu diperhatikan adalah kebijakan politiknya, bukan hal remeh-temeh dari kehidupan personalnya. Pada akhirnya, orang yang terjebak dalam sudut pandang hitam-putih, ibarat orang yang beriman dengan buta; tergantung imannya berada di posisi yang mana: pemuja ataukah pembangkang.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave a Comment...