Berpikir Bebas Melawan Arus

Agama dan Sains Modern

Sains telah membawa perkembangan besar bagi peradaban manusia: mulai dari perkembangan teknologi, perkembangan medis yang membuat usia harapan hidup manusia meningkat, hingga ke perkembangan pengetahuan tentang alam semesta; yang membawa kita lebih dekat untuk memahami alam semesta. Bahkan sains telah membuat manusia menjadi lebih adaptif terhadap seleksi alam dibandingkan dengan hewan-hewan lainnya.

Sebelum sains berkembang seperti sekarang ini, manusia menciptakan pelbagai macam mitos untuk menjelaskan fenomena alam semesta. Hal ini terlihat dari kayanya ragam mitos dari peradaban-peradaban terdahulu—bahkan untuk menjelaskan satu fenomena yang sama.

Misalnya, ketika kita masih “gelap” dalam melihat asal-usul manusia, ada mitos yang berasal dari satu suku Aborigin Tasmania; yang mengatakan bahwa asal-usul manusia berawal dari pertempuran dewa. Dewa yang bernama Moinee dikalahkan oleh dewa pesaingnya Dromerdeener; dan sebelum mati, dia ingin memberikan berkat kepada tempat persemayaman terakhirnya, sehingga dia memutuskan untuk menciptakan manusia. Namun karena dia terburu-buru—karena tahu dirinya sekarat—maka dia lupa memberi lutut kepada manusia ciptaannya; dan dia linglung memberi manusia ekor besar seperti kangguru, yang membuat manusia tidak bisa duduk. Manusia yang tidak bisa duduk tersebut menjerit meminta pertolongan ke kahyangan. Dromerdeener mendengar jeritan tersebut dan dia turun ke Tasmania untuk melihat apa yang terjadi. Dia jatuh iba kepada manusia, sehingga dia memberi mereka lutut yang bisa ditekuk dan memotong ekor kanggurunya sehingga mereka bisa duduk; dan manusia akhirnya memiliki bentuk tubuh seperti sekarang ini.

Ada juga mitos lain dari peradaban Skandinavia yang menceritakan dewa Odin mengubah dua batang pohon menjadi manusia ketika berjalan di pesisir pantai. Kedua batang pohon tersebut adalah laki-laki dan perempuan pertama yang bernama “Ask” dan “Embla”; yang kemudian diberi napas kehidupan dan anugrah kemampuan berbicara. Ini hanya segelintir mitos dari sekian banyaknya mitos-mitos tentang asal-usul manusia di masing-masing peradaban.

Sejak masa transisi peradaban manusia ke logosentris, perilaku mitosentris (memahami sesuatu dengan mitos) tidak hilang begitu saja. Sistem keyakinan yang masih ada saat ini, seperti agama-agama samawi, masih mengadopsi mitos-mitos serupa di dalam kitab sucinya. Banjir besar Nuh, yang serupa dengan mitos banjir besar Gilgamesh; kisah penciptaan Adam-Hawa dan kisah Ibrahim-Ismail adalah contoh mitos-mitos yang tertulis di dalam kitab suci. Kisah-kisah tersebut tidak memiliki bukti sejarah, maka hal yang wajar jika kisah tersebut digolongkan sebagai mitos; terlebih kisah-kisah ini seringkali tidak sesuai dengan bukti saintifik.

Pernah ada penelitian yang dilakukan oleh orang-orang seperti Ron Wyatt untuk membuktikan kisah di dalam kitab suci sebagai kejadian faktual; namun, penelitiannya termasuk ke dalam pseudoscience; sehingga penelitiannya tidak diterima, karena penelitian-penelitian tersebut tidak pernah terbukti sampai saat ini.

Di awal perkembangannya, secara tidak langsung, sains mulai membantah penafsiran teks-teks kitab suci yang dilakukan secara literal—walau sebenarnya sains tidak peduli dengan penafsiran kitab suci, karena titik fokus sains adalah mencari kebenaran dengan metode ilmiah yang tepat.

Berdasarkan catatan sejarah di abad pertengahan, otoritas keagamaan bahkan menolak segala bentuk ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan penafsiran kitab suci; karena di masa itu, otoritas keagamaan memiliki doktrin, bahwa wahyu Tuhan—menurut penafsiran mereka—yang merupakan kebenaran sejati.

Bahkan Galileo Galilei pernah diadili karena pandangannya tentang heliosentris yang bertentangan dengan pandangan pihak gereja yang meyakini geosentris; bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Hal inilah yang dianggap salah satu penyebab masa ini disebut sebagai abad kegelapan (dark age) di Eropa.

Di sisi yang lain, di daerah timur, di wilayah kekuasaan islam, justru terjadi perkembangan sains yang pesat. Masa ini bahkan disebut-sebut sebagai islamic golden age. Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Ibnu Rushd, Jabir ibn Ayyan; adalah tokoh-tokoh ilmuwan islam yang menjadi “model” jaman ini. Menariknya, masa keemasan islam justru tercapai karena peradaban islam terbuka dengan ilmu pengetahuan—terlepas dari apakah ilmu tersebut bertentangan dengan penafsiran kitab suci saat itu atau tidak.

Dari sudut pandang psikologi sosial, tindakan pihak gereja di abad kegelapan adalah salah satu bentuk disonansi kognitif.[1] Bukan hanya di abad kegelapan, bahkan sampai saat ini, tidak sedikit pelaku agama yang mengulangi apa yang terjadi di abad kegelapan; walau dalam model yang berbeda. Mereka memuja simbol secara berlebihan dan tertutup dengan pemikiran lainnya. Di masa ini, orang yang terjebak bias kognitif dalam beragama—bias konfirmasi[2]—terlihat dari banyaknya buku-buku agama yang dibuat beririsan dengan sains, seolah sains diperlukan untuk membuktikan (penafsiran) agama; tetapi disaat yang sama, mereka menolak penelitian sains yang dilakukan dengan metode ilmiah yang tepat, yang bertentangan dengan pemaknaan dalil secara harfiah. Padahal, sains selalu terbuka untuk difalsifikasi; sedangkan kebenaran agama tidak. Membuat sains dan agama beririsan adalah sebuah oxymoron.

Lalu pertanyaan selanjutnya muncul. Mungkinkah beragama di era sains modern seperti sekarang ini; padahal di sisi lain, sains semakin menegasikan kebenaran faktual teks kitab suci? Jawabannya tergantung bagaimana manusia memahami agama.

Ketika saya mengatakan bahwa kisah-kisah dalam kitab suci adalah mitos; itu bukan berarti saya menegasikan agama. Justru sebaliknya, disitulah letak keunikan agama yang membedakannya dengan sains. Mitos-mitos yang tertulis dalam teks kitab suci, sejak awal bukan untuk dipahami secara harfiah; karena mitos-mitos tersebut hanyalah simbol yang memiliki nilai secara esensial, seperti narasi Ibrahim yang diuji untuk mengorbankan anaknya Ismail karena mendapatkan mimpi. Menurut pemahaman saya—karena bisa saja ada pemahaman berbeda—narasi tersebut mengajarkan bahwa manusia perlu melepaskan kemelekatannya terhadap hal-hal yang bersifat duniawi; yang kemudian disimboliskan melalui pemotongan hewan kurban. Inti dari narasi tersebut bukanlah faktual tidaknya kejadian itu, tetapi apa nilai dari kisah tersebut.

Hal inilah yang seringkali diabaikan oleh penganut agama tertentu, sehingga mereka menjadi tertutup dengan ilmu pengetahuan. Padahal, sains dan agama sejak awal tidak untuk dibuat beririsan; karena dua hal tersebut memiliki ranahnya masing-masing. Sains dan agama tidak kompatibel jika dibuat beririsan dalam menjelaskan kejadian alam. Pada konteks ini, saya setuju dengan Richard Dawkins: "not only is science corrosive to religion; religion is corrosive to science. It teaches people to be satisfied with trivial, supernatural non-explanations and blinds them to the wonderful real explanations that we have within our grasp. It teaches them to accept authority, revelation and faith instead of always insisting on evidence."

 

[1] Disonansi kognitif adalah teori dalam psikologi sosial yang membahas mengenai perasaan ketidaknyamanan seseorang akibat sikap, pemikiran dan perilaku yang saling bertentangan; sehingga memotivasi seseorang untuk mengambil langkah, demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut.

[2] Bias konfirmasi adalah suatu kecenderungan bagi orang-orang untuk mencari bukti-bukti yang mendukung pendapat atau kepercayaannya; lalu mengabaikan bukti-bukti yang menyatakan sebaliknya.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Leave a Comment...